Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jika Kotak Jadi Kades

Pemilihan kepala desa di beberapa tempat, kotak kosong mampu mengalahkan calon tunggal. dan itu banyak terjadi hingga terpaksa pemilihan diulang. diduga rakyat tidak suka penunjukan oleh pemerintah.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERTANDING tanpa lawan seorang pun, terutama di desa kini belum menjamin kemenangan sudah di tangan. Inilah pengalaman Hardi, 51 tahun, yang gagal menyandang sebutan Pak Kades atau Kepala Desa. Dalam perebutan kursi kades Ciawi, Kabupaten Bogor, awal bulan Agustus lalu, sebagai calon tunggal, Hardi dikalahkan secara telak oleh kotak kosong. Semula, Hardi yakin betul kemenangan diraihnya. Pemilihan dianggapnya sekadar formalitas setelah pesaingnya digugurkan dalam seleksi tahap sebelumnya. Dengan bangga dan yakin ia maju ke panggung pemilihan kepala desa sebagai calon tunggal. Namun, hasil pemungutan suara sungguh di luar perhitungan. Dia cuma memperoleh 570 suara. Yang menyakitkan hatinya, 760 suara lainnya masuk ke kotak kosong. "Saya kalah, karena ada orang jail yang mempengaruhi masyarakat agar tak memilih saya," ujar Hardi, penjabat kades Ciawi sejak empat tahun lalu itu. Hardi adalah salah seorang korban "gerakan memilih kotak sebagai kades" yang belakangan sering muncul pada panggung pemilihan kades dengan calon tunggal. Lantas, jalan keluarnya, proses pemilihan diulang. Calon tunggal yang gugur boleh menjagokan dirinya kembali. "Dengan syarat mengikuti testing dari permulaan lagi," ujar Abdul Machyan, Asisten Sekretaris Daerah (Assesda) Bidang Pemerintahan, Kabupaten Bogor. Tampilnya calon tunggal rupanya sedang menjadi gejala umum. Di Kabupaten Bogor saja, dari 197 pemilihan kades yang dijadwalkan berlangsung tahun 1988 ini, 41 di antaranya menampilkan calon tunggal. Bahkan ada lima desa yang telah melangsungkan pemungutan suara. Hasilnya: pemilihan di dua desa terpaksa diulang, karena kotak kosong yang unggul. Kekalahan calon kades atas kotak kosong itu terdengar pula di Desa Tirtasari, Kecamatan Cikampek, Karawang. Pada acara pemilihan, dua pekan lalu itu, calon tunggal Imong Suryadi hanya bisa menggaet 774 suara dengan 151 suara di antaranya dianggap tidak sah. Dengan suara yang dikumpulkan, Imong gagal mengumpulkan 50 persen dari suara yang masuk. Berapa banyak kasus "kotak kosong mengalahkan calon tunggal" atau "gerakan memilih kotak sebagai kades"? Di Jawa Barat, memang, belum ada catatan yang pasti. Bahkan catatan tentang jumlah calon kades tunggal pun tampaknya belum dikumpulkan. "Mungkin tidak dilaporkan oleh panitia pemilihan," ujar Kolonel Suryatna, Wakil Gubernur Ja-Bar yang menangani bldang pemerintahan. Suryatna tampak yakin bahwa kekalahan para calon tunggal itu tak ada hubungannya dengan peta politik di desa setempat. "Tak ada sangkut-pautnya dengan pengaruh parpol atau Golkar. Pemilihan kades ini merupakan pemilihan yang betul-betul langsung dan sangat demokratis, orang tak akan berpikir soal politik," ujarnya. Hal sama terjadi di Jawa Tengah. Yang diketahui, sudah ada dua calon tunggal yang dikalahkan secara telak oleh kotak kosong yaitu di Kabupaten Rembang dan Wonosobo. Mulyadi, misalnya, dalam pemilihan Mei lalu, tampil hanya bersaing dengan kotak kosong. Hasilnya, ia gagal menjadi kades untuk Desa Kenongo, Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang. Ia meraih suara 404 dan si kotak mendapat dukungan 433 suara. Belakangan diputuskan bahwa ia tidak bisa mengikuti pemilihan ulang karena ia disuruh mengundurkan diri. Jawa Tengah kini juga lagi musim pemllihan kades. Dari 7.845 desa, 6.465 kades harus diremajakan. Proses penggantian itu dijadwalkan selesai pada akhir Maret 1990. Pemilihan yang telah dan berlangsung meliputi 1.230 desa. Tingkat kegagalan memperoleh calon kades terpilih di Ja-Teng terhitung kecil. "Hanya 0,06 persen. Selebihnya lancar dan tertib," kata Gubernur Ismail. Dari sejumlah kecil kegagalan itu, kejadian calon tungga yang dipecundangi kotak kosong, seperti disebut di atas, terjadi di Kabupaten Rembang dan Wonosobo. Gejala semacam itu, menurut mata ahli pedesaan UGM Loekman Soetrisno, bahwa kemenangan kotak kosong, atau ketidakhadiran warga desa ke arena pemilihan kades,itu sebagai gejala sosial yang serius. Sikap seperti itu, katanya, merupakan indikasi adanya protes masyarakat terhadap kehendak pemerintah yang ingin menunjuk pamong desa sebagai aparat pemerintah yang hanya loyal ke atas. Mereka curiga karena pengguguran pesaing calon tunggal itu dilakukan dalam tes tertulis. Akibatnya, "Rakyat menentang, karena merasa demokrasinya telah dipenggal," ujar Loekman Soetrisno. Pengamatan dan analisa Lukman tidak seluruhnya disetujui sosiolog senior dari UI seperti Prof. Selo Soemardjan. Selo beranggapan, kegagalan memperoleh calon terpilih dalam pemilihan kepala desa, tak lain, disebabkan oleh langkanya tokoh masyarakat yang bersedia menjadi petinggi desa. "Sekarang ada gejala bahwa jabatan kepala desa kurang menarik," ujar Selo. Tanah bengkok, sebagai harta inventaris kepala desa, diJawa makin menciut. Tak lagi bisa memberikan rangsangan ekonomi. Gaji yang diterima sebagai kepala desa juga kecil. "Tak seimbang dengan tanggung jawabnya yang besar," tambah Selo. Bagi pemerintah daerah yang menjadi pelaksana, tentunya lebih menekankan bahwa kursi kades itu harus terisi. Jawa Tengah misalnya masih membolehkan si calon yang gagal itu ikut lagi pemilihan ulang. Hal yang sama juga dianut oleh Pemda Ja-Bar. Namun, juru bicara Departemen Dalam Negeri, Feisal Tamin, berpendapat bahwa pemilihan tidak perlu diulang, kecuali kalau kotak kosong dan kotak calon berisi suara sama kuat. Bila calon tunggal itu kalah, "Berarti tidak didukung oleh rakyatnya," ujar Eeisal. Pengulangan, tentu, akan sia-sia karena tetap tak menjanjikan adanya calon yang disukai. Laporan Tri Budanto (Jakarta), Riza Sofyat (Bandung), Bandelan Amarudin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus