DENGAN nada datar, Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan yang mengundang perhatian. Dalam pidato kenegaraan Selasa pekan lalu di DPR, Presiden mengungkapkan berbagai ancaman yang akan dihadapi Indonesia. Salah satu ancaman -- yang mengagetkan anggota dewan adalah otoriterisme, militerisme, dan totali terisme. Di samping mengetengahkan ancaman itu dan berbagai bentuk ancaman lainnya Presiden juga menjelaskan serangkaian program untuk menghadapi dan mengatasinya. Pak Harto juga memaparkan langkah-langkah yang selama ini dilakukan di berbagai bidang untuk memperkecil ruang lingkup ancaman itu, dengan tetap memantapkan ketahanan nasional. Yang kemudian mengundang pendapat, sebenarnya seberapa jauh ancaman yang diucapkan Presiden yaitu otoriterisme, militerisme, dan totaliterisme itu akan membahayakan Indonesia. Atau adakah hal-hal yang harus diwaspadai sehingga Pak Harto perlu menyebutkan hal itu? Apa yang disampaikan Kepala Negara, menurut Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, hanya "sinyalemen umum" dan tak ada suatu kejadian khusus. Berbagai ancaman katanya kepada TEMPO, diingatkan kembali terutama agar tetap waspada dalam memasuki proses peralihan. Maksudnya, Indonesia tengah dalam proses meninggalkan pembangunan jangka panjang tahap pertama dan melangkah ke pembangunan jangka panjang tahap kedua. "Setiap peralihan akan menghadapi tahap-tahap kritis," kata Moerdiono. Ia mengambil contoh kejadian di beberapa negara di Asia dan Amerika Latin. "Adanya sinyalemen itu bukan berarti ada gejala-gejala ke arah itu," ujar Moerdiono menegaskan. Peringatan semacam itu, katanya, sudah beberapa kali diucapkan dalam pidato-pidatonya sekitar tujuh --delapan tahun yang lampau. Letjen. (Purn.) Hasnan Habib juga punya kesan sama seperti Mensesneg. Presiden sudah beberapa kali mengetengahkan ancaman otoriterisme, militerisme, dan totaliterisme itu. Peringatan itu dianggapnya penting pada saat menjelang tinggal landas ini, agar orang tidak salah langkah. "Mungkin Pak Harto ingin rakyat waspada. Saya kira, sesuatu yang disinyalirnya itu hanya bersifat umum," katanya. Seberapa besar potensi ancaman itu di Indonesia? Hasnan menyebutkan hal itu sangat dipengaruhi oleh penerimaan masyarakat. "Masyarakat itu membiarkan atau membolehkan atau bagaimana," katanya. Tapi ia sendiri berpendapat bahwa apa yang disebut otoriterisme dikaitkan dengan militerisme dalam arti yang dilihat negara Barat itu belum pernah dialami Indonesia. Peluang untuk itu, kata Hasnan Habib, pernah terbuka. "Terutama pada 1 Oktober 1965, 'kan sebetulnya bisa terjadi. Tapi nyatanya sampai sekarang 'kan tidak," katanya. Ancaman militerisme, menurut Hasnan, sangat kecil di Indonesia. Apalagi kini organisasi politik dan massa sudah dibenahi sehingga menjadi kekuatan yang mempersuht munculnya militerisme itu. Nico Daryanto, Sekjen DPP PDI, melihat peringatan Presiden akan bahaya itu terutama karena Indonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam pembangunan. Jangan sampai, katanya, kemajuan itu justru membius dan membuat masyarakat kurang waspada akan bahaya yang ada. "Ini sebetulnya bukan untuk menakut-nakuti," ujarnya. Artinya, kata Nico, titik berat peringatan Kepala Negara itu bukan hal yang mengancam. "Ini lebih bertitik berat agar pikiran semacam itu jangan sampai timbul," katanya. Meskipun demikian, menurut Yusuf Syakir, Wakil Ketua F-PP DPR, bukan berarti ancaman itu cuma bersifat artifisial. Bisa juga merupakan ancaman yang sesungguhnya. Dan ia berpendapat, peringatan itu penting karena sekarang sedang terJadl proses regenerasi kepemimpinan. "Artinya, generasi 45 memperingatkan kepada generasi yang akan memimpin nanti supaya memperhatlkan kemungkinan adanya ancaman itu," ujar Yusuf. Bila disadari hal itu bisa menjadi ancaman, maka ia menganggap dinamika masyarakat perlu ditingkatkan. Kalau sekarang titik beratnya pada stabilitas-dinamis, "suatu saat istilahnya bisa menjadi dinamika yang stabil," tuturnya. Untuk itu, katanya, perlu dibuka kran demokrasi lebih lebar. Demokratisasi, baik di bidang politik maupun ekonomi, menurut Oka Mahendra memang perlu semakin dimantapkan. Presiden mengeluarkan peringatan itu, kata Wakil Sekjen DPP Golkar ini, "Sebab, negara yang ingin kita bangun ini yang demokratis. Jangan sampai menyimpang dari tujuan itu." Ia sependapat bahwa ancaman dimaksud belum terjadi di sini. Tapi besar kecilnya potensi ancaman itu tergantung apa yang dilakukan. "Kalau kita bisa melaksanakan kebijaksanaan pembangunan yang betul-betul demokratis dan membawa kesejahteraan bagi rakyat, saya kira dampak ancaman itu tidak akan berkembang," katanya. Sementara itu, Dr. Salim Said, ahli ilmu politik tamatan Ohio State University, Amerika Serikat, berpendapat bahwa di Indonesia ABRI justru bisa mencegah bahaya totaliterisme dan militerisme. ABRI, kata doktor dengan disertasi mengenai Dwifungsi ABRI itu, selalu bisa menyesuaikan doktrinnya dengan perkembangan masyarakat. Pada awal Orde Baru, misalnya, ABRI turun tangan karena keadaan ketika itu kacau. Kalau sekarang masyakarat sudah berkembang, sudah bisa mengurusi diri sendiri, maka peranan ABRI harus dikurangi, dengan memberi porsi yang lebih besar kepada masyarakat. "Saya optimistis, penyesuaian tersebut akan selalu dilakukan sesuai dengan kenyataan sejarah ABRI selama ini," katanya. Amran Nasution, Rustam F. Mandayun, Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini