Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Rapat pleno rekapitulasi suara Pemilu 2024 tingkat kecamatan di kantor Camat Padang Hulu, Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara, sempat memanas pada Kamis pekan lalu. Saat itu saksi dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan Padang Hulu menemukan adanya ketidakcocokan data antara formulir C1 Hasil dan formulir C Salinan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 002 Kelurahan Padang Merbau, Padang Hulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ditemukan selisih dua suara,” kata anggota Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan Padang Hulu, Kota Tebing Tinggi, Evin Tari Indah, Senin, 26 Februari 2024.
Baca juga:
Evin menyebutkan tercatat 205 suara sah berdasarkan formulir C1 Hasil yang dihitung oleh kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) pada TPS 002 tersebut. Namun, berdasarkan formulir C Salinan yang dipegang Panwaslu, hanya tercatat 203 suara sah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Karena perbedaan itu, kami bingung ingin menggunakan data yang mana," kata Evin.
Untuk memastikan kebenaran jumlah suara sah, mereka melihat daftar hadir pemilih. Setelah membuka daftar hadir, tercatat ada 205 pemilih yang hadir. Namun muncul kecurigaan pada tanda tangan pemilih, yang diduga dimanipulasi. “Tanda tangannya sama, mirip semua,” ujar Evin.
Saksi dan pengawas pemilu melihat ada indikasi kecurangan pemilu di TPS 002. Rapat pleno lantas memutuskan untuk memanggil anggota KPPS TPS 002. “Mereka diminta menjelaskan hal itu,” kata Evin.
Saat tiba, anggota KPPS mengaku memanipulasi tanda tangan. Mereka beralasan bahwa surat daftar hadir sempat hilang saat proses pemungutan suara dari pagi hingga sekitar pukul 13.00 waktu setempat. Pada saat itu, pemilih yang hadir tidak diminta mengisi tanda tangan.
Lalu, kata Evin, anggota KPPS berinisiatif memberi tanda lingkaran pada nomor urut pemilih dalam surat daftar pemilih tetap (DPT). “Hal itu mereka sudah laporkan ke pengawas TPS. Mereka juga sudah ditegur,” ucapnya.
Evin mengatakan saksi tidak menerima penjelasan KPPS tersebut. Sebab, KPPS tidak bisa menjamin pemilih yang hadir sesuai dengan undangan. “Apalagi tindakan mereka masuk ranah pemalsuan dan bisa ke ranah pidana.”
Warga menunjukkan surat undangan pencoblosan surat suara ulang di TPS 043, Menteng, Jakarta, 24 Februari 2024. ANTARA/Sulthony Hasanuddin
Selain di TPS 002, panwaslu menemukan pelanggaran di TPS 005 Kelurahan Padang Merbau. Panwaslu Kecamatan menemukan ada pemilih yang bukan domisili di Padang Hulu mencoblos di TPS 005. KTP elektronik pemilih itu beralamat di Sergai, Sumatera Utara.
Masalahnya, ujar Evin, pemilih itu tak bisa menunjukkan formulir A5 atau pindah memilih. Padahal formulir itu merupakan syarat pemilih untuk pindah pemilih atau masuk daftar pemilih tambahan (DPTb). “Hal itu merupakan pelanggaran.”
Dua temuan tersebut yang menjadi dasar bagi Panwaslu Kecamatan Padang Hulu merekomendasikan pemungutan suara ulang (PSU) di dua TPS itu. Namun penyelenggara pemilu belum melaksanakan rekomendasi tersebut hingga Senin kemarin. Padahal batas maksimal PSU terhitung 10 hari sejak hari pemungutan suara, yaitu tepatnya pada 24 Februari 2024. “Ini sudah lewat. Tapi kami masih menunggu,” ucap Evin.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia merekomendasi PSU di 780 TPS. Bawaslu juga merekomendasi pemungutan suara lanjutan (PSL) di 132 TPS dan pemungutan suara susulan (PSS) di 584 TPS. Namun KPU hanya melaksanakan PSU di 686 TPS.
Rekomendasi Bawaslu itu merujuk pada temuan pelaksanaan pemungutan suara pada 14 Februari. Mereka mendapati adanya indikasi kecurangan pemilu di ratusan TPS sehingga penyelenggara pemilu diminta mengulang pemungutan suara di TPS itu.
Sesuai dengan hitung cepat lembaga survei, pemilihan presiden 2024 ini dimenangi oleh Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Pasangan calon presiden nomor urut 02 ini mengalahkan dua rivalnya, yaitu Anies Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
Warga Menteng mencoblos surat suara ulang di TPS 043, Jakarta, 24 Februari 2024. ANTARA/Sulthony Hasanuddin
Anggota KPU, Idham Holik dan Betty Epsilon Idroos, belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Jumat pekan lalu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari membenarkan lembaganya hanya menggelar PSU di 686 TPS yang tersebar di 38 provinsi. “Kami saat ini masih mengkonsolidasikan data, sehingga data yang bisa kami sampaikan baru sebanyak 686 untuk pemungutan suara ulang,” kata Hasyim.
Ia mengatakan KPU akan berkomunikasi dengan Bawaslu mengenai perbedaan jumlah PSU tersebut. KPU pusat juga akan memerintahkan penyelenggara pemilu di provinsi dan kabupaten-kota ataupun badan ad hoc pemilu mengkajinya. "Kalau sekiranya memang rekomendasi itu akurat dan faktual, laksanakan,” katanya. “Kalau sekiranya kajian berkata lain, sampaikanlah itu kepada Bawaslu yang menerbitkan surat rekomendasi."
Baca juga:
Anggota Bawaslu, Puadi, mengatakan rekomendasi lembaganya tersebut berdasarkan penelitian dan pencermatan pengawas pemilu di lapangan. Ia menegaskan, sepanjang memenuhi empat kriteria dalam Pasal 372 Undang-Undang Pemilu, KPU wajib melaksanakan pemungutan suara ulang sesuai dengan rekomendasi Bawaslu. Satu dari empat kriteria itu adalah ada pemilih yang mencoblos padahal tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik ataupun tak terdaftar di DPT dan DPTb. Namun, “Keputusan untuk PSU kembali kepada KPU berdasarkan usulan dari KPPS,” katanya.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Neni Nur Hayati menemukan ada tiga TPS di Jawa Barat yang tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu, yaitu melaksanakan PSU. Tiga TPS itu adalah TPS 53 Desa Gegerkalong, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung; TPS 6 Desa Manis, Kecamatan Sukamukti, Kabupaten Purwakarta; dan TPS 59 Desa Aren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi.
“Padahal di ketiga TPS itu ditemukan ada pelanggaran,” kata Neni.
Ia mengatakan ketiga TPS itu memiliki masalah serupa, yakni ada pemilih yang seharusnya tidak memilih di TPS tersebut karena tak terdaftar di DPT. Pemilih itu juga tak membawa formulir A5. Namun anggota KPPS setempat mengizinkan pemilih tersebut mencoblos di TPS setempat.
Neni mengaku sudah meminta konfirmasi soal itu ke KPU Kabupaten Purwakarta. Namun KPU Purwakarta beralasan tidak menemukan pelanggaran di TPS tersebut. “Katanya tidak terpenuhi unsur formil dan materiil untuk dilakukannya PSU,” ujarnya.
Menurut Neni, KPU seharusnya tetap melaksanakan rekomendasi Bawaslu sesuai dengan ketentuan UU Pemilu paling lambat 24 Februari 2024. “Bila tidak dilaksanakan, ada potensi pelanggaran administrasi dan berpotensi pidana pemilu,” katanya.
Manajer Advokasi dan Hukum Seknas Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Romi Maulana mengatakan PSU dilakukan bila pengawas pemilu menemukan adanya kejadian tidak terduga, seperti kerusuhan dan bencana serta pelanggaran ataupun kecurangan dalam tahap pemungutan suara.
“Misalnya, ditemukan kotak suara yang sudah terbuka,” kata Romi.
Ia melanjutkan, PSU juga bisa dilakukan jika pemungutan suara tidak sesuai dengan prosedur. Misalnya, amplop surat suara sudah tidak tersegel saat disaksikan oleh saksi dan panwaslu. “Ada juga kejadian, anggota KPPS memberikan tanda tangan di surat suara. Padahal itu merupakan tugas ketua KPPS. Ini juga masuk ke dalam pelanggaran,” katanya.
Menurut Romi, KPU secara teknis memang memiliki hambatan dalam melaksanakan PSU. Sebab, Pasal 334 ayat 4 Undang-Undang Pemilu membatasi pelaksanaan PSU di setiap daerah pemilihan. “KPU dalam aturan itu hanya boleh melakukan pengadaan 1.000 surat suara. Ini membatasi KPU melaksanakan rekomendasi Bawaslu,” ujarnya.
Namun, kata dia, pembatasan itu seharusnya tidak menghalangi KPU melaksanakan PSU. Ia mengatakan, jika sengaja tidak melaksanakan rekomendasi Bawaslu, KPU bisa dikenai pasal pidana dengan hukuman 2 tahun penjara sesuai dengan Pasal 594 UU Pemilu.
Ketua Umum Network for Indonesian Democratic Society (Netfid) Indonesia Muhammad Afit Khomsani mengatakan Pasal 14 huruf J UU Pemilu mengatur bahwa salah satu kewajiban KPU adalah melaksanakan putusan Bawaslu mengenai sanksi atas pelanggaran administratif dan sengketa proses pemilu. Afit mengatakan bukan ranah KPU memutuskan ada atau tidak ada pelanggaran pemilu karena hal itu merupakan kewenangan Bawaslu.
Ia menegaskan, KPU tidak berhak memutuskan tak melaksanakan PSU karena tidak menemukan adanya pelanggaran. “Kami menilai Bawaslu bisa melaporkan KPU karena tindakan ini ke DKPP,” kata Afit.
Afit melanjutkan, sikap KPU tersebut sama saja mereka membiarkan kecurangan pemilu. Sebab, rekomendasi PSU biasanya karena ditemukan adanya indikasi kecurangan pemilu. “Legitimasi pemilu juga dipertaruhkan,” ujarnya.
HENDRIK YAPUTRA | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo