Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas hendak membuat kantor urusan agama atau KUA jadi tempat nikah semua agama.
Bertujuan memudahkan warga nonmuslim, tapi malah mendulang kontroversi.
Rencana ini dianggap menyalahi sejarah KUA. Sedangkan warga nonmuslim tidak merasa dipersulit dalam mencatatkan pernikahan di kantor pencatatan sipil.
Belum apa-apa, rencana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas membuka pintu Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pelayanan pernikahan semua religi memancing pro-kontra. Selama ini KUA hanya melayani pernikahan muslim. Sedangkan warga beragama lain mencatatkan status perkawinan mereka di Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua MPR sekaligus anggota DPR dari Komisi VIII—-di antaranya membidangi urusan agama—Hidayat Nur Wahid menyatakan rencana ini ahistoris dan bisa memicu disharmonisasi. Sebab, sejak awal Indonesia merdeka, sistemnya berjalan seperti saat ini tanpa ada masalah dan penolakan. "Perubahan KUA ini bisa berdampak luas dan melibatkan semua umat beragama, tapi belum pernah dibahas dengan Komisi VIII DPR," kata Hidayat pada Senin, 26 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejatinya, perbedaan pengaturan urusan nikah berlaku sejak masa Hindia-Belanda. Seperti tertera di situs web Kementerian Agama, asal-usul KUA adalah penghulu. Buku Sedjarah Masjid dan Amal Ibadah Dalamnya yang ditulis Abubakar Atjeh pada 1955 menyatakan penghulu atau naib tercatat dalam sejarah berbagai kesultanan Islam di Nusantara. Mereka adalah kepala agama dengan lingkup wewenang yang sangat luas. Pemerintah kolonial Belanda mereduksi peran penghulu menjadi sebatas pencatat nikah, talak, dan rujuk. Peran ini diresmikan oleh Presiden Sukarno lewat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
Prosesi akad nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Makasar, di Jakarta. TEMPO/Ijar Karim
Peran KUA sengaja dibuat khusus untuk pemeluk agama Islam agar tidak tercampur dengan pengaturan pernikahan pada agama lain yang punya aturan tersendiri. Misalnya, sejak masa Hindia-Belanda, umat Kristen menikah lewat restu pendeta.
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Henrek Lokra berharap rencana transformasi KUA tersebut dikaji lebih mendalam. "Jangan membikin sesuatu yang justru membuat pembedaan makin tajam," ujarnya kepada Tempo, Senin, 26 Februari lalu.
Pernyataan Henrek itu bersandar pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Beda Agama. Lewat edaran tersebut, MA melarang hakim mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama. "Kami merasa tidak terwakili dalam putusan itu," kata Henrek. Adapun soal pencatatan pernikahan umat Kristen di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, dia menilai sudah tepat.
Sekretaris Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Yohanes Aristanto Heri Setiawan mengatakan opsi transformasi KUA perlu didukung sinkronisasi regulasi. Dia mengutip Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan yang menyatakan KUA memfasilitasi pernikahan umat Islam. Sementara itu, dalam ajaran Katolik, Yohanes melanjutkan, pernikahan dikatakan sah jika menjalani ritual agama dan tercatat di pencatatan sipil. "Hal terpenting adalah aturan itu harus mempermudah masyarakat," ujarnya kepada Tempo di kantor KWI, Jakarta, Selasa, 27 Februari 2024.
Agustinus Heri Wibowo, Sekretaris Komisi Hubungan Antar-Agama dan Kepercayaan KWI, berharap Kementerian Agama segera membuka ruang diskusi soal rencana perluasan fungsi KUA ini. Menurut dia, pernikahan merupakan wilayah pribadi yang diatur oleh agama. Adapun negara berperan soal administrasi lewat pencatatan sipil. Jika nanti pintu KUA terbuka bagi semua pemeluk agama, dia melanjutkan, warga Katolik datang untuk mencatatkan pernikahannya. "Menikahnya, ya, di gereja," ujarnya.
Sepasang pengantin seusai prosesi akad nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Makasar, di Jakarta. TEMPO/Ijar Karim
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan latar belakang rencana transformasi KUA ini adalah keinginan untuk memudahkan warga nonmuslim. Apakah selama ini mereka dipersulit? "Semuanya sangat mudah," kata Eddy Kurniawan, 38 tahun, mengenang pernikahannya di gereja Katolik di Yogyakarta pada 2013. Sebagai warga Jakarta, videografer itu hanya perlu mengalihkan berkas permohonan pernikahan dari gerejanya di Ibu Kota ke gereja di Yogyakarta. "Setelah upacara pemberkatan, sudah ada petugas pencatatan sipil."
Juru bicara Kementerian Agama Anna Hasbie mengatakan rencana membuat KUA menjadi tempat nikah semua pemeluk agama masih membutuhkan pembahasan lintas direktorat masing-masing agama. "Yang pasti, akan ada peningkatan pelayanan KUA untuk semua agama mulai tahun ini," katanya.
Satu bentuk peningkatan pelayanan itu adalah bimbingan pernikahan bagi warga nonmuslim. Rencana ini didulang dari bimbingan keluarga sukinah—tujuan hidup berumah tangga dalam konsep Hindu—yang digelar Direktorat Bimbingan Masyarakat Hindu di Kintamani, Bali. Anna menyebutkan proyek percontohan itu mendapat respons positif sehingga perlu dijalankan di wilayah lain, wabilkhusus daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T.
Menurut Anna, transformasi KUA telah berjalan secara bertahap sejak awal masa tugas Menteri Yaqut pada akhir 2020. Selain melayani semua pemeluk agama di KUA, Kementerian akan mengintegrasikan data pernikahan.
Anna mengatakan Kementerian hanya punya data pernikahan warga muslim. Sementara itu, warga beragama lain hanya diketahui secara umum, seperti kenaikan atau penurunan jumlah pernikahan. "Kami harus tahu sebabnya."
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo