Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Melawan Kabar Hoaks, Warganet Diajak Isi Konten Positif

Saat hoaks berseliweran di banyak media, ada sosok muda yang justru keliling Indonesia untuk melawannya, Hafyz Marshal, 29 tahun.

23 Februari 2019 | 21.39 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi hoax atau hoaks. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Saat berita bohong atau hoaks berseliweran di banyak media, ada sosok muda yang justru keliling Indonesia untuk melawannya.  Hafyz Marshal, 29 tahun, pemuda Jakarta ini mengajak komunitas dan warganet untuk melawan kabar hoaks. Sudah banyak kota yang ia kunjungi dengan mengadakan deklarasi melawan kabar yang tidak jelas bahkan cenderung fitnah, terutama menjelang pemilihan umum ini.

“Kami mengajak kalangan warganet, blogger, youtuber, mahasiswa, seniman dan masyarakat umum untuk bersama-sama melawan hoaks. Masyarakat harus membanjiri konten positif di banyak media sosial. Apalagi menjelang pemilu, banyak sekali berita bohong dan fitnah,” kata Hafyz, Jumat, 22 Februari 2019.

Baca: Mahfud MD Sebut Ada Produsen Hoaks Ingin Rusak Pemilu

Beberapa kota yang sudah ia datangi untuk kampanye anti-hoaks  antara lain Yogyakarta, Surakarta, Jakarta, Salatiga dan Bogor. Selanjutnya dia bakal menyambangi Palembang, Bengkulu dan Padang. Minimal sepuluh kota ia datangi dan kumpul beramal komunitas untuk menyemarakkan kampanye anti-kabar bohong.

Di Yogyakarta ia menggandeng Forum Pemuda Kreatif untuk melawan kabar yang bisa memecah belah bangsa ini. Juga menggandeng pegiat media sosial yang pengikut (follower) nya mencapai 100 ribu. Tidak ketinggalan pula ia menggandeng jurnalis yang bisa mengkampanyekan kabar baik. Di Loko Coffee kota Yogyakarta, para pegiat dunia media sosial beramai-ramai mendeklarasikan gerakan melawan hoaks, Kamis petang, 21 Februari 2019.

Ia menyebut kabar hoaks bisa berbentuk tulisan, lisan, gambar, foto maupun video. Tulisan bisa saja diproduksi untuk melawan lawan politik dengan narasi yang tidak benar. Gambar kartun juga bisa diproduksi untuk menyerang lawan politik namun ternyata hanya fitnah belaka.

Foto-foto asli diedit sehingga menjadi foto yang tidak menggambarkan kejadian sebenarnya. Jika menganggap foto tidak diedit tetapi ada keterangan foto yang tidak benar juga bisa disebut hoaks. Begitu pula dengan video. Gambar gerak bisa saja diedit, disulih suara yang tidak sama seperti apa yang diucapkan oleh orang yang ada dalam video itu.

Dunia maya, kata alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor ini, harus disikapi dengan bijak. Tidak langsung bisa dipercaya seratus persen. Harus tahu ciri-cirinya. Kalau tidak, maka pembaca atau orang yang dikirim tulisan, foto, video atau gambar akan terjebak pada kebohongan.

“Sebenarnya berita hoaks itu sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad. Hanya saja, sekarang ini sangat masif adanya hoaks itu. Apalagi menjelang pemilu, para pendukung partai pokok, calon legislator maupun calon presiden dan wakil presiden saling gontok. Tak hanya di dunia nyata, justru di dunia maya lebih sadis lagi karena saling hujat dan saling fitnah,” kata dia.

Ia mengingatkan kabar hoaks itu bahkan untuk menyerang  SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Tidak elok jika SARA itu dibawa-bawa ke ranah politik. Ujaran kebencian juga harus dihindari. Karena politik praktis dalam hal ini pemilu masih dikategorikan dalam politik bawah (low politic). Politik yang tinggi (high politic) adalah politik kebangsaan.

Jika kabar hoaks itu terutama yang menyangkut SARA selalu disebarkan maka akan mengancam umat dan kebangsaan. Kampanye anti kabar hoaks ini merupakan salah satu kontribusi pemilihan umum yang damai. “Hal ini penting guna menjamin keberlanjutan pembangunan nasional manusia Indonesia,” kata Hafyz.

Ia meminta masyarakat memiliki pengetahuan untuk selektif memilih berbagai informasi yang tersebar di media sosial. Sedangkan bagi kalangan warganet diharapkan dapat melawan hoaks dengan aktif memproduksi konten-konten positif yang membangkitkan optimisme bangsa menatap masa depan.

Aktivis media sosial Prihadi Beny Waluyo mengatakan pesta demokrasi jangan menjadi momok bagi masyarakat. Maka momen ini jangan sampai dijadikan lahan untuk menyebarkan berita bohong. "Warganet, khususnya kalangan blogger , youtuber dan content creator lainnya harusnya dapat memanfaatkan pesta demokrasi dengan gembira dan optimis. Caranya melalui konten konten tulisan, grafis dan vlog serta bentuk kreatif lainnya yang mendidik dan menghibur guna menciptakan proses demokrasi yang berkualitas,” kata dia.

Simak: Januari 2019, Kominfo Temukan 4 Konten Hoaks per Hari

Ia menambahkan para warganet bukannya justru mencari kesalahan apalagi memecah belah dengan konten konten berbau SARA. Jangan sampai isu agama dan informasi hoaks menjadi alat kepentingan jangka pendek, yaitu hanya untuk menang di pesta demokrasi dengan cara tidak yang bermartabat.

Lagi pula, ada konsekuensi hukum jika ada orang yang menyebarkan kabar hoaks. Undang-Undang nomor 11 tahun 2018 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) memayungi dunia maya. Jika ada yang membuat dan menyebarkan kabar  hoaks maka akan terjerat hukum bahkan hanya dengan ujaran kebencian dan meneruskan (forward) bisa berujung bui.

MUH SYAIFULLAH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus