Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Janji pemerintah untuk melindungi anak-anak Indonesia dari paparan asap dan iklan rokok melalui seperangkat regulasi yang konsisten masih jauh panggang dari api. Alih-alih memenuhi hak anak dalam tumbuh kembangnya, faktanya, prevalensi perokok anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Itu artinya, negara abai untuk melindungi anak-anak Indonesia dari paparan iklan dan asap rokok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal, Presiden Jokowi telah menginstruksikan untuk melindungi anak dari zat adiktif rokok melalui revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Instruksi itu dikeluarkan melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2018 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu yang diatur dalam keputusan presiden itu memuat RPP tentang Perubahan atas PP Nomor 1O9 /2012 yang dibuat berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2OO9 tentang Kesehatan Pasal 116. Dalam Keppres itu diatur perubahan pengaturan akan difokuskan pada: gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau; pencantuman informasi dalam kemasan produk tembakau; dan larangan. Sebagai pemrakarsa ditunjuklah Kementerian Kesehatan.
Tapi hingga tiga tahun berlalu, langkah Kementerian Kesehatan untuk mengupayakan revisi itu kerap terbentur tembok. Kementerian yang berfokus pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat tidak menganggap penting persoalan peningkatan prevalensi perokok anak ini.
Menteri Kesehatan era Susilo Bambang Yudhoyono Andi Nafsiah Mboi menghadiri launching buku pendiri brand kosmetik dermatologi Ristra, Retno Tranggono, berjudul Spread the Love di Jakarta, Kamis 12 Maret 2020. (TEMPO/Eka Wahyu Pramita)
“Faktanya, ada beberapa kementerian seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan yang menolak revisi PP 109 ini,” kata Nafsiah Mboi, mantan Menteri Kesehatan yang kini menjadi Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau, beberapa waktu lalu. “Tidak masuk akal jika ada menteri yang sekarang masih menolak dan menunda-nunda revisi PP 109/2012, apalagi karena fokus pemerintah kita sekarang mengurangi risiko penularan dan kematian karena Covid-19,” ujarnya menambahkan.
Ketua Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Sumarjati Arjoso menjelaskan, dasar pemikiran pemerintah mengeluarkan Keppres soal pengendalian tembakau itu salah satunya setelah melihat prevalensi perokok anak terus meningkat. Padahal, pemerintah selalu menargetkan penurunan prevalensi perokok anak.
Prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun naik dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 8,8 persen pada 2016. Angka ini naik menjadi 9,1 persen pada 2018, semakin menjauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2019 sebesar 5,4 persen.
Peningkatan prevalensi perokok anak ini, kata Sumaryati, amat dipengaruhi iklan rokok yang susah dikendalikan. Iklan rokok memang diatur di media elektronik dengan pembatasan jam tayang, tapi tidak di media internet, terutama media sosial. Iklan rokok yang menggoda bisa diakses dari genggaman tangan mereka dan berebut mencari ceruk pasar remaja yang menggiurkan.
Menurut Sumaryati, , jauh sebelum keluar Keputusan Presiden itu, pada 2014, Kementerian Kesehatan dan masyarakat pro pengendalian tembakau sudah menilai aturan itu harus direvisi. Sudah menjadi rahasia umum, anak mudah terstimulasi oleh kencangnya iklan rokok.
Data prevalensi perokok anak umur 10-18 tahun. Foto: Dok. Buku Fakta Tembakau 2020.
Ia menjelaskan, aturan 40 persen pada bungkus rokok untuk peringatan kesehatan bergambar tidak cukup ampuh membendung kemauan anak-anak mengisap rokok. Indonesia harus membuat aturan yang memberikan porsi peringatan kesehatan bergambar lebih dari 90 persen. Dengan melihat porsi bahaya rokok bagi kesehatan lebih besar, anak-anak terstimulasi untuk berhenti merokok.
Di luar masalah itu, harga rokok eceran pun sangat murah. “Anak-anak itu biasanya membeli eceran sesuai uang jajan mereka, seribu rupiah sudah bisa beli rokok,” katanya kepada Tempo, Senin, 9 Agustus 2021. Masyarakat propengendalian tembakau berharap aturan revisi nanti juga akan menaikkan harga eceran rokok agar tidak terjangkau anak-anak. Terakhir, menurut dia, saat aturan itu dikeluarkan, gempuran rokok elektronik belum sedahsyat saat ini, sehingga perlu regulasi untuk membendung anak-anak mengkonsumsinya.
Dalam buku Fakta Tembakau Indonesia 2020 Data Empirik untuk Pengendalian Tembakau, prevalensi perokok elektronik remaja usia 10-18 tahun meningkat hampir 10 kali lipat dari 1,2 persen tahun 2016 menjadi 10,9 persen tahun 2018. Peningkatan ini jauh lebih tinggi dari prevalensi perokok elektronik dewasa pada periode yang sama 2016-2018 dari 2 persen menjadi 2,7 persen. Pada 2011 Global Adults Tobacco Survey (GATS) menemukan prevalensi perokok elektronik dewasa 0,3 persen.
Melihat fakta-fakta di atas, desakan untuk merevisi aturan makin kencang. Indonesia adalah pasar gurih bagi industri rook. Data Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas 2018 menyatakan, pada 2018, total jumlah perokok kita menjadi 65,7 juta jiwa dan membuat kita bertengger di urutan ketiga di dunia setelah Cina dan India.
Menurut Sumaryati, Presiden Jokowi bukan hanya menerbitkan Keppres. Tahun lalu, pemerintah menerbitkan Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 yang menjadi komitmen presiden untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen di tahun 2024. Ia menilai, target itu akan sulit tercapai.
“Anak-anak karena sekolah online, ponsel itu menjadi bagian hidupnya hampir seharian, yang fungsinya bukan hanya untuk sekolah tapi juga main-main. Di situ banyak iklan rokok berseliweran sehingga anak-anak terangsang untuk rokok,” ujarnya.
Menurut buku Fakta Tembakau, jika pengendalian perokok remaja tidak memadai, Bappenas memproyeksikan peningkatan prevalensi perokok usia 10-18 tahun dari 9,1 persen pada 2018 menjadi 16 persen pada 2030. Perkiraan jumlah perokok anak akan meningkat dari 3,3 juta menjadi 6,8 juta jiwa pada 2030.
Menurut Sumaryati, RPJMN yang disusun Bappenas ini lantaran sudah menjadi peraturan presiden, seharusnya diikuti oleh semua kementerian. “Kenyataannya kalau diskusi soal itu belum semua kementerian satu kata,” ujarnya.
Bappenas memperkirakan ledakan jumlah perokok anak dengan melihat prevalensi perokok anak terus meningkat jika tidak bisa dikendalikan. Foto: Buku Fakta Tembakau 2020.
Ia mencontohkan, saat mendiskusikan persoalan iklan rokok di internet dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi. “Pernah dari pihak Kominfo bilang, iklan baru bisa disetop kalau pihak Kemenkes menyatakan rokok ilegal. Padahal rokok tidak ilegal tapi mengandung zat adiktif,” ucapnya. Di sinilah terjadi pembedaan perlakuan antara zat adiktif yang terkandung dalam minuman beralkohol yang dilarang diiklankan dengan zat adiktif di rokok.
Sumaryati menuturkan, upaya Kementerian Kesehatan untuk menggelar rapat terbatas dengan kementerian sebenarnya sudah diupayakan di era Menteri Kesehatan Nila Moeloek. “Tapi tidak ada tindak lanjut dan perubahan apapun, makanya kami penggiat Pengendalian Tembakau mendorong Kemenkes agar aktif dan ada prakarsa itu,” ucapnya.
Menurut Sumaryati, kementerian lain menganggap persoalan konsumsi rokok bukan prioritas. Kementerian yang memfokuskan pada masalah ekoomi lebih suka mengurus soal penjualan rokok, kesejahteraan UMKM, pemenuhan tenaga kerja, dan petani.
Soal ini, tidak ditampik oleh Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Atong Soekirman dalam diskusi Menakar Kembali Pentingnya Cukai Rokok bagi Ekonomi Kesehatan Indonesia, kemarin. Ia beralasan, Kementerian Perekonomian melihat persoalan ini secara holistik dan bukan parsial.
Menurut dia, industri hasil tembakau mempunyai peran strategis bagi perekonomian Indonesia. “Ada 10 persen dari APBN disumbang dari industri ini, sekitar Rp 170 – 180 triliun ,itu belum termasuk pajak-pajak lain,” katanya. Atong menyatakan, industri tembakau menjadi tulang punggung utama pertumbuhan perokonomian Indonesia. “Ini hal yang tak bisa dipungkiri, ada 19,8 persen dari porsi industri tembakau,” katanya.
Persoalan berikutnya, menurut dia, berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. “Ada tujuh juta tenaga kerja baik langsung atau tidak yang bekerja di sektor ini dan menjadi pertimbangan Kementerian Bidang Perekonomian.”
Tapi, Direktur SDM Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan mengatakan, seharusnya, persoalan ekonomi dan kesehatan bukan hal yang harus dipertentangkan. “Kepentingan kesehatan dan ekonomi itu saling mendukung,” katanya dalam diskusi yang sama, kemarin. Masyarakat yang sehat akan mendukung pertumbuhan ekonomi. Demikian sebaliknya, masyarakat yang sakit akan membebani pertumbuhan ekonomi.
“Masyarakat yang sehat tidak meningkatkan biaya kesehatan sehingga uangnya bisa digunakan untuk investasi sumber daya manusia dan lebih bahagia dari yang sakit-sakitan,” ujarnya.
Di masa pandemi seperti sekarang, kata Abdillah, Indonesia jangan menambah masalah kesehatan dari konsumsi rokok yang meningkat. “Masyarakaat yang sehat itu pondasi sumber daya masyarakat Indonesia yang kuat. Jangan dikira kalau kita mau mengurangi konsumsi rokok akan menghambat pertumbuhan ekonomi.”
Dewan Penasihat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Prof Emil Salim. TEMPO/Nufus Nita Hidayati
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sendiri mengaku terkejut mengetahui tingginya prevalensi perokok anak. “Saya terkejut, ternyata anak-anak muda Indonesia tinggi sekali ya prevalensi perokok anaknya,” katanya saat menjadi pembicara kunci di peluncuran Kampanye Berhenti Merokok pada awal Juni lalu.
Dengan fakta itu, alih-alih akan berupaya keras untuk merevisi PP 109/2012, Menteri Budi justru mengeluarkan wacana penurunan prevalensi perokok anak paling efektif diselesaikan melalui gerakan sosial. Ia beralasan, upaya menurunkan prevalensi perokok anak tidak cukup diselesaikan dengan regulasi.
"Apakah tidak boleh menakut-nakuti, atau menutup akses penggunaan? Memang secara historically, tidak cukup, buktinya sudah ada regulasi, angka kecanduan merokok terus jalan," katanya.
Budi membandingkan seseorang yang mengalami kecanduan obat-obatan. “Semua tahu tidak sehat, tapi peningkatan pemakainya meningkat terus. Dibandingkan rokok, hukumannya lebih keras tapi ya angka konsumsinya tetap jalan terus,” ucapnya.
Pemerhati masalah anak, Seto Mulyadi atau yang biasa disapa Kak Seto, menilai pemerintah kurang serius melindungi anak-anak. Ia menjelaskan, saat ini, anak-anak dikepung oleh asap dan iklan rokok konvensional dan elektronik. “Jika pemerintah tidak juga merevisi PP 109/2012, maka sama saja telah terjadi pembiaran atau pelalaian terhadap perlindungan anak-anak dari asap rokok,” katanya kepada Tempo pada bulan lalu.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia ini menjelaskan, selama ini, Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau atau FCTC, cukup tersisihkan di mata dunia. Indonesia dianggap gagal dalam melindungi anak-anak dalam pemenuhan hak kesehatan dari paparan asap dan iklan rokok.
“Dari negara tetangga semua meratifikasi aturan itu. Kalau belum melakukan ya buat aturan. Enak saja membandingkan dengan narkoba, upayanya kok tampak kurang serius, mohon maaf, seolah-olah membiarkan anak-anak jadi korban,” katanya menanggapi pernyataan Menteri Kesehatan.