Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menilik Alasan Beda Label Halal-Haram Vaksin AstraZeneca

Belakangan ini publik dibuat bingung dengan perbedaan label halal atau haram vaksin AstraZeneca. Pemerintah meminta masyarakat tidak berpolemik

23 Maret 2021 | 11.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini publik dibuat bingung dengan perbedaan label halal atau haram vaksin AstraZeneca. Pemerintah meminta masyarakat tidak menjadikan polemik perbedaan tersebut. Sebab vaksin Covid-19 itu diperbolehkan dipakai terlepas label haram atau halal.

"Saya kira yang sekarang dipersoalkan seharusnya  pada boleh atau tidak boleh, bukan pada halal atau tidak. Karena (vaksin AstraZeneca) walaupun tidak halal, tapi sudah boleh. Apalagi kalau ada penjelasan memang itu tidak mengandung unsur babi, artinya bolehnya menjadi lebih boleh. Sehingga tidak menjadi persoalan, tentang kebolehannya," kata Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Senin, 22 Maret 2021

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa vaksin AstraZeneca haram, tapi boleh digunakan dalam keadaan darurat. Sementara PWNU Jawa Timur dan MUI Jawa Timur menyatakan vaksin AstraZeneca halal. Pihak AstraZeneca Indonesia mengklaim vaksin Covid-19 mereka tidak mengandung babi. Bagaimana bisa ada perbedaan tersebut?

Sebelum mengeluarkan fatwa untuk vaksin AstraZeneca, pendapat anggota dan pimpinan Komisi Fatwa MUI sebetulnya terbelah. Wakil Sekretaris Jenderal MUI Bidang Fatwa, Ahmad Fahrur Rozi, mengatakan sebagian pengurus menganggap vaksin tersebut haram. Namun Ahmad dan pengurus lain menganggap vaksin itu halal karena produk akhirnya tak mengandung babi.

Pun proses pengembangbiakan virus itu tidak bersinggungan langsung dengan tripsin babi. “Ini seperti lele makan kotoran. Lelenya tetap halal, kan?” katanya seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi Senin, 22 Maret 2021.

Menurut Ahmad, sejumlah ulama internasional juga telah menghalalkan penggunaan tripsin atau gelatin - jenis protein yang diperoleh dari kolagen dalam kulit dan tulang - babi. Ia mencontohkan pada 2001, ada 112 ulama bertemu dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan menyetujui fatwa halal gelatin babi pada vaksin.

Di sejumlah negara Islam pun persoalan halal-haram vaksin tak diributkan dalam kondisi normal, apalagi saat pandemi. “Cuma di sini saja ribut-ribut soal itu,” ucapnya.

Pengurus Komisi Fatwa dan tim khusus menggelar rapat di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 10 Maret. Tim khusus bertugas membuat draf fatwa untuk dibawa ke sidang pleno Komisi Fatwa MUI. Mereka yang datang di antaranya Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh dan Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin.

Menurut Ahmad, rapat itu dihadiri pengurus yang berpandangan bahwa vaksin AstraZeneca haram. “Jadi saya tidak hadir di sana,” ujarnya.

Anggota Komisi Fatwa MUI, Aminuddin Yakub, yang hadir dalam pertemuan itu, mengatakan rapat tersebut menghasilkan draf fatwa yang menyebutkan vaksin AstraZeneca haram. Meski haram, Aminuddin mengatakan, vaksin tersebut masih bisa digunakan lantaran keterbatasan vaksin Covid-19 dan situasi darurat.

Sepekan setelahnya atau pada Selasa, 16 Maret, Komisi Fatwa MUI menggelar sidang pleno untuk mengesahkan fatwa. Hasilnya kurang-lebih sama dengan draf yang telah disusun sebelumnya. Tapi fatwa MUI baru resmi diumumkan pada Jumat, 19 Maret, bersamaan dengan izin penggunaan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin Abdul Fatah menyebut Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI menyebutkan vaksin itu mengandung tripsin, enzim babi yang digunakan sebagai katalis, untuk pengembangbiakan virus corona. Menurut Hasanuddin, informasi soal unsur tripsin diketahui dari data yang ditunjukkan oleh BPOM.

MUI, kata dia, memiliki pedoman yang menyatakan unsur babi yang digunakan di bagian hulu menjadikan satu produk tetap haram meskipun barang itu tak lagi mengandung babi.

Anggota Komisi Fatwa, Aminuddin Yakub, mengatakan vaksin AstraZeneca berbeda dengan Sinovac. Kandungan Sinovac salah satunya adalah sel vero, yang berasal dari ginjal monyet hijau Afrika. Sifatnya tidak najis berat seperti vaksin AstraZeneca. “Dasar kami adalah semua produk yang mengandung babi itu haram,” ucap Aminuddin.

Direktur AstraZeneca Indonesia Rizman Abudaeri melalui siaran pers, menyatakan AstraZeneca menghargai pernyataan Majelis Ulama. Namun, perusahaan itu menyatakan vaksinnya tidak menggunakan dan bersentuhan dengan produk turunan babi atau hewan lain.

Vaksin tersebut telah disetujui di lebih dari 70 negara, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, dan Mesir. "Banyak Dewan Islam di seluruh dunia menyatakan sikap bahwa vaksin ini diperbolehkan untuk digunakan oleh para muslim."

Pada Rabu, 10 Maret lalu, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur mengeluarkan surat keputusan yang menyebutkan vaksin yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan, seperti AstraZeneca dan Sinovac, suci dan tak mengandung unsur najis.

Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur Syafruddin Syarif mengatakan pengurus NU wilayahnya menggelar sidang sebelum mengeluarkan keputusan tersebut.

Dari informasi yang diterima lembaganya, Syafruddin menjelaskan, unsur babi dalam vaksin AstraZeneca hanya diperlukan dalam proses pengembangbiakan. Unsur najis itu, kata dia, tidak dicampurkan, sehingga para kiai NU sepakat bahwa vaksin AstraZeneca suci.

Syafruddin mengibaratkan pembuatan vaksin seperti menanam pohon. Meski pohon diberi pupuk dari kotoran hewan yang najis, buah yang dihasilkan oleh pohon itu hukumnya suci. Begitu pula dengan ayam yang memakan kotoran najis, dagingnya tidak haram dimakan. "Dari dua contoh ini, kami memahami vaksin hukumnya halal," kata Syafruddin dikutip dari Koran Tempo edisi Sabtu, 20 Maret 2021.

MUI Jawa Timur sepakat dengan PWNU Jawa Timur menyatakan vaksin AstraZeneca halal. Ia menyatakan para kiai, santri dan pengurus pondok pesantren di Jawa Timur siap menerima vaksin AstraZeneca.

Juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan agar vaksin bisa diterima masyarakat, Kementerian Kesehatan akan menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk menjelaskan vaksin tersebut tak mengandung bahan haram.

Siti menyatakan Kementerian Kesehatan akan melibatkan pengurus MUI di tingkat pusat dan daerah untuk mensosialisasi penggunaan vaksin Covid-19 tersebut. Namun pemerintah tak bisa memaksakan vaksinasi terhadap masyarakat yang menolak vaksin AstraZeneca.

Baca Majalah Tempo: Tarik - Ulur Vaksin Inggris

DEWI NURITA | MAJALAH TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus