Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menyesuaikan Minat Dengan Bakat

Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN) telah menyusun konsep pendidikan nasional. Masukan di dapat dari 500 lebih pendapat dari berbagai kalangan. (pdk)

16 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISI Pembaharuan Pendidikan Nasional (KPPN) telah memasuki tahap II: penyusunan konsep pendidikan nasional. Tahap I, pengumpulan masalah dan pendapat dalam bidang pendidikan, telah berhasil mengumpulkan 500 lebih pendapat berupa kertas kerja, laporan, artikel dalam media mssa dan surat-surat. Dalam konperensi pers Rabu minggu lalu, Ketua II KPPN Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo menguraikan beberapa pokok pikiran yang telah disetujui sidang lengkap KPPN. Satu hal, yang justru merupakan masalah intinya, ialah "Proses Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional" sampai awal minggu ini masih disidangkan. Tapi beberapa hal menarik sempat dilontarkan oleh Ketua II dan Ketua I, Prof Slamet Iman Santoso. Antara lain, soal "sejauh mana anak didik boleh dibebani sejumlah mata pelajaran." Ini tentu saja sehubungan dengan kemampuan si anak, dan kemungkinan perkembangan selanjutnya. Patah Hati Erat hubungannya dengan masalah tersebut ialah dalam memilih sekolah atau jurusan. Misalnya saja, cerita Sumitro, banyak lulusan STM ternyata ingin melanjutkan sekolah dan tidak mencari pekerjaan. Padahal sekolah kejuruan sebenarnya ditujukan agar lulusannya langsung bekerja. Meskipun masalah lain, lapangan pekerjaan, juga merupakan sebab mengapa lulusan STM tak langsung bekerja. Dan kemungkinan ketiga ialah kwalitas lulusan itu sendiri yang di bawah permintaan. Jadi, mungkin lowongan ada tapi kemampuan pelamar kerja belum mencukupi. Ditambah lagi dengan soal memilih jurusan pada sekolah lanjutan umum, memang timbul masalah yang tentunya erat berhubungan dengan usaha peningkatan kwalitas lulusan sekolah kita. Apakah hal itu tak cukup diselesaikan berdasar angka rapor dan minat siswa itu sendiri? Ternyata tidak. Dari disertasi Dr Sudirgo Wibowo, dosen Fak Psikologi UI -- meski disertasi ini membahas seleksi calon mahasiswa -- dibuktikan bahwa kemampuan siswa tidak selalu tepat diukur dari angka rapor. Banyak faktor yang menjadikan angka rapor tidak mencerminkan kemampuan siswa: kwalitas sekolah, kemampuan guru, latar belakang ekonomi siswa. Yang disarankannya kemudian ialah pentingnya diadakan psiko tes. Kesadaran pentingnya psiko tes itu sendiri memang sudah nampak berkembang sejak tahun 70-an ini. Ini menurut pengamatan Harles Tondokusumo, pimpinan Lembaga XYZ yang bergerak dalam konsultasi psikologi. "Tiap tahun peminat psiko tes makin bertambah," ujarnya. Pertambahan itu mungkin juga disebabkan beberapa SLA mengharuskan calon siswanya menyertakan hasil psiko tes di samping persyaratan biasa. Misalnya SMA Pangudi Luhur di Jl. Prapanca. "Dengan dilengkapi hasil psiko tes, gambaran kemampuan dasar dan kecerdasan si anak menjadi lebih jelas," kata Bruder Michael, kepala sekolah SMA tersebut. Meski diakuinya bahwa hasil psiko tes bukan satu-satunya penentu diterima tidaknya calon siswa. Dan penentuan jurusan sama sekali masih didasarkan atas angka rapor. Lalu kapan psiko tes perlu diberikan? Menurut Dr Sudirgo, sebaiknya sebelum anak masuk SD. "Untuk mengetahui apakah si anak cukup mampu mengikti pelajaran di SD. Kalau tidak, sebaiknya dimasukkan ke sekolah luar biasa saja," katanya kepada TEMPO. Psiko tes kedua perlu diberikan kepada lulusan SMP, untuk mengetahui jurusan apa yang paling cocok kalau hendak meneruskan sekolah. Meski diakuinya, kemungkinan hasil psiko tes meleset ada juga. Dan menurut Semiati Ibnu Umar, Kepala Bagian Psikologi Perusahaan dan Kejuruan Fak Psikologi UI -- yang menyelenggarakan psiko tes untuk umum -- 80% hasil psiko tes mendekati kebenaran. "Memang ada satu-dua yang datang dan mengatakan hasil psiko tesnya tidak cocok," tutur Semiati. Kalau itu terjadi kemudian dicari faktor penyebabnya: mungkin si anak lagi patah hati, atau dalam keluarganya sedang ada masalah dan sebagainya. Tapi itu mungkin belum cukup membujuk siswa atau calon siswa mematuhi petunjuk psiko tes. Faktor masyarakat, "yang terus terang masih setengah feodal ini," kata Ki Soeratman Sekretaris II KPPN, agaknya ikut menentukan juga. Itu dikatakan Ki Soeratman sehubungan dengan minat lulusan sekolah kejuruan untuk melanjutkan sekolah. "Banyak yang tak suka kerja kasar," katanya. Tapi mungkin bukan kesalahan siswa sendiri. Masalah pendidikan yang begitu kompleks, pandangan masyarakat yang menganggap kursus-kursus bukan bagian dari pendidikan, salah satu akibatnya ialah asal masuk sekolah saja. Masalahnya sekarang Bagaimana kalau ternyata setelah di tengah jalan bakat dan kemampuan siswa diketahui padahal sudah salah jurusan? Sekarang jelas tak mungkin lulusan SMA jurusan IPS (ilmu pengetahuan sosial) -- yang ternyata berminat dan mampu -- masuk fakultas kedokteran misalnya. Barangkali KPPN yang melanjutkan sidangnya dalam minggu ini mampu menelurkan resepnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus