KOMISI Pembaharuan Pendidikan Nasional (KPPN) telah memasuki
tahap II: penyusunan konsep pendidikan nasional. Tahap I,
pengumpulan masalah dan pendapat dalam bidang pendidikan, telah
berhasil mengumpulkan 500 lebih pendapat berupa kertas kerja,
laporan, artikel dalam media mssa dan surat-surat. Dalam
konperensi pers Rabu minggu lalu, Ketua II KPPN Prof Dr Sumitro
Djojohadikusumo menguraikan beberapa pokok pikiran yang telah
disetujui sidang lengkap KPPN. Satu hal, yang justru merupakan
masalah intinya, ialah "Proses Pelaksanaan Sistem Pendidikan
Nasional" sampai awal minggu ini masih disidangkan.
Tapi beberapa hal menarik sempat dilontarkan oleh Ketua II dan
Ketua I, Prof Slamet Iman Santoso. Antara lain, soal "sejauh
mana anak didik boleh dibebani sejumlah mata pelajaran." Ini
tentu saja sehubungan dengan kemampuan si anak, dan kemungkinan
perkembangan selanjutnya.
Patah Hati
Erat hubungannya dengan masalah tersebut ialah dalam memilih
sekolah atau jurusan. Misalnya saja, cerita Sumitro, banyak
lulusan STM ternyata ingin melanjutkan sekolah dan tidak mencari
pekerjaan. Padahal sekolah kejuruan sebenarnya ditujukan agar
lulusannya langsung bekerja. Meskipun masalah lain, lapangan
pekerjaan, juga merupakan sebab mengapa lulusan STM tak langsung
bekerja. Dan kemungkinan ketiga ialah kwalitas lulusan itu
sendiri yang di bawah permintaan. Jadi, mungkin lowongan ada
tapi kemampuan pelamar kerja belum mencukupi.
Ditambah lagi dengan soal memilih jurusan pada sekolah lanjutan
umum, memang timbul masalah yang tentunya erat berhubungan
dengan usaha peningkatan kwalitas lulusan sekolah kita. Apakah
hal itu tak cukup diselesaikan berdasar angka rapor dan minat
siswa itu sendiri? Ternyata tidak. Dari disertasi Dr Sudirgo
Wibowo, dosen Fak Psikologi UI -- meski disertasi ini membahas
seleksi calon mahasiswa -- dibuktikan bahwa kemampuan siswa
tidak selalu tepat diukur dari angka rapor. Banyak faktor yang
menjadikan angka rapor tidak mencerminkan kemampuan siswa:
kwalitas sekolah, kemampuan guru, latar belakang ekonomi siswa.
Yang disarankannya kemudian ialah pentingnya diadakan psiko tes.
Kesadaran pentingnya psiko tes itu sendiri memang sudah nampak
berkembang sejak tahun 70-an ini. Ini menurut pengamatan Harles
Tondokusumo, pimpinan Lembaga XYZ yang bergerak dalam konsultasi
psikologi. "Tiap tahun peminat psiko tes makin bertambah,"
ujarnya.
Pertambahan itu mungkin juga disebabkan beberapa SLA
mengharuskan calon siswanya menyertakan hasil psiko tes di
samping persyaratan biasa. Misalnya SMA Pangudi Luhur di Jl.
Prapanca. "Dengan dilengkapi hasil psiko tes, gambaran kemampuan
dasar dan kecerdasan si anak menjadi lebih jelas," kata Bruder
Michael, kepala sekolah SMA tersebut. Meski diakuinya bahwa
hasil psiko tes bukan satu-satunya penentu diterima tidaknya
calon siswa. Dan penentuan jurusan sama sekali masih didasarkan
atas angka rapor.
Lalu kapan psiko tes perlu diberikan? Menurut Dr Sudirgo,
sebaiknya sebelum anak masuk SD. "Untuk mengetahui apakah si
anak cukup mampu mengikti pelajaran di SD. Kalau tidak,
sebaiknya dimasukkan ke sekolah luar biasa saja," katanya kepada
TEMPO. Psiko tes kedua perlu diberikan kepada lulusan SMP, untuk
mengetahui jurusan apa yang paling cocok kalau hendak meneruskan
sekolah. Meski diakuinya, kemungkinan hasil psiko tes meleset
ada juga.
Dan menurut Semiati Ibnu Umar, Kepala Bagian Psikologi
Perusahaan dan Kejuruan Fak Psikologi UI -- yang
menyelenggarakan psiko tes untuk umum -- 80% hasil psiko tes
mendekati kebenaran. "Memang ada satu-dua yang datang dan
mengatakan hasil psiko tesnya tidak cocok," tutur Semiati. Kalau
itu terjadi kemudian dicari faktor penyebabnya: mungkin si anak
lagi patah hati, atau dalam keluarganya sedang ada masalah dan
sebagainya.
Tapi itu mungkin belum cukup membujuk siswa atau calon siswa
mematuhi petunjuk psiko tes. Faktor masyarakat, "yang terus
terang masih setengah feodal ini," kata Ki Soeratman Sekretaris
II KPPN, agaknya ikut menentukan juga.
Itu dikatakan Ki Soeratman sehubungan dengan minat lulusan
sekolah kejuruan untuk melanjutkan sekolah. "Banyak yang tak
suka kerja kasar," katanya. Tapi mungkin bukan kesalahan siswa
sendiri. Masalah pendidikan yang begitu kompleks, pandangan
masyarakat yang menganggap kursus-kursus bukan bagian dari
pendidikan, salah satu akibatnya ialah asal masuk sekolah saja.
Masalahnya sekarang Bagaimana kalau ternyata setelah di tengah
jalan bakat dan kemampuan siswa diketahui padahal sudah salah
jurusan? Sekarang jelas tak mungkin lulusan SMA jurusan IPS
(ilmu pengetahuan sosial) -- yang ternyata berminat dan mampu --
masuk fakultas kedokteran misalnya. Barangkali KPPN yang
melanjutkan sidangnya dalam minggu ini mampu menelurkan
resepnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini