Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tenaga Ahli Kedeputian IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin, mengatakan tidak ada yang salah dalam pidato berani diajak berantem yang disampaikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi di hadapan relawan. Menurut Ngabalin, orang yang mengkritik Jokowi tidak melihat pidato tersebut secara utuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ngabalin mengatakan jika mendengar pidato itu dengan lengkap, maka Jokowi tidak berupaya memancing keributan. Ngabalin menampik jika hanya dari pidato tersebut Jokowi dianggap sosok yang arogan. Menurut dia, karakter Jokowi adalah orang yang ingin menghindari terjadi konflik.
"Orang Solo itu nunjuknya bukan seperti saya anak Buton, anak Papua, anak Kei, anak Bali, anak Bugis. Bukan menunjuk pakai telunjuk, tapi pakai jempol. Artinya beliau menghindar adanya benturan. Nunjuknya saja pakai jempol," kata Ngabalin, Selasa, 7 Agustus 2018.
Justru, kata dia, dalam pidatonya tersebut Jokowi mengajak agar masyarakat tidak menyebarkan berita bohong serta menjaga kerukunan. "Di belakangnya dia bilang 'tapi kalau diajak berantem, jangan takut'. Apa itu artinya? Itu artinya perintah panglima perang dan saya Insya Allah panglimanya," kata Ngabalin.
Jokowi memang menyampaikan agar jangan takut jika diajak berkelahi dalam rapat umum relawan di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Sabtu pekan lalu. Dalam pidatonya, Jokowi mengatakan, "jangan bangun permusuhan, jangan membangun ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah, tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang. Tapi kalau diajak berantem juga berani."
Namun Jokowi buru-buru menegaskan ucapannya tersebut, "tapi jangan mengajak (berantem) loh. Saya bilang tadi, tolong itu digarisbawahi. Jangan mengajak. Kalau diajak (berantem), tidak boleh takut."