Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -
"Sejauh ini di DPR belum ada yang inisiasi, begitu juga di pemerintah belum ada yang mengusulkan," kata Bobby, Rabu, 12 Juni 2024.
Ia mengatakan Komisi Pertahanan tak dapat melakukan agenda legislasi seperti keinginan koalisi masyarakat sipil. Meski begitu, politikus Partai Golkar ini membenarkan adanya polemik di dalam peradilan militer. Penyebabnya, Pasal 65 Undang-Undang TNI mengatur bahwa prajurit TNI yang melalukan kejahatan harus diadili melalui mekanisme peradilan militer. Ketentuan tersebut yang membuat penegak hukum sungkan saat hendak menangani dugaan pelanggaran pidana prajurit TNI.
Koalisi masyarakat sipil mendesak DPR agar memprioritaskan revisi UU Peradilan Militer dibandingkan mengubah Undang-Undang TNI. Saat ini DPR tengah membahas revisi UU TNI. Dewan sudah memutuskan revisi UU TNI menjadi usul inisiatif lembaganya.
Sesuai draf revisi yang disusun oleh Badan Legislasi DPR, terdapat dua pasal dalam UU TNI yang akan diubah, yaitu Pasal 47 dan 53. Dalam Pasal 47, Baleg memperluas peran prajurit aktif di jabatan sipil. Prajurit TNI dapat menduduki jabatan sipil di semua kementerian atau lembaga sesuai dengan kebijakan presiden.
Lalu Pasal 53 mengatur batas usia pensiun prajurit. Baleg mengusulkan perpanjangan usia pensiun perwira TNI menjadi 60 tahun, dari sebelumnya 58 tahun.
Anggota koalisi masyarakat sipil, Dimas Bagus Arya, mengatakan revisi UU Peradilan Militer lebih mendesak dilakukan dibandingkan perubahan UU TNI. Alasannya, keberadaan UU Peradilan Milter yang lebih baik dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran pidana maupun hak asasi manusia yang melibatkan prajurit aktif di jabatan sipil.
Ia mencontohkan berbagai perkara pidana yang menjerat prajurit aktif di jabatan sipil yang justru yang ditangani oleh peradilan militer. Misalnya, kasus korupsi Kepala Basarnas Marsekal Madya Hendri Alfiandi. Awalanya Komisi Pemberantasan Korupsi yang menangani kasus Hendri. Tapi KPK terpaksa menyerahkan penanganan kasus Hendri ke Pusat Polisi Militer TNI.
"Setelah diambil alih oleh Puspom, informasi mengenai peradilannya amat minim," kata Dimas, Rabu kemarin.
Ia berpendapat, kasus korupsi Hendri tersebut seharusnya disidangkan di peradilan umum tindak pidana korupsi. Sebab kasus tersebut terjadi karena posisi Hendri di jabatan sipil. Selain itu, kasus korupsi yang ditangani melalui mekanisme peradilan militer cenderung menjadi impunitas bagi perwira tinggi TNI. “Sebagai contoh kasus pengadaan helikopter AW-101. Apakah penerima suap yang disinyalir melibatkan petinggi militer itu terungkap," ujar Dimas.
Pilihan Editor : Menutup Celah Impunitas Anggota TNI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini