Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA bulan lalu, ada pertemuan yang menghebohkan para pegiat hak asasi manusia. Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman terlihat berfoto dengan sejumlah keluarga korban penculikan aktivis 1998. Lokasinya di Hotel Fairmont, kawasan Senayan, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Paian Siahaan, salah satu keluarga korban penculikan yang hadir di Fairmont, perantara pertemuan ganjil itu adalah Mugiyanto Sipin. Mugiyanto adalah aktivis 1998 yang menjadi korban penculikan Tim Mawar TNI Angkatan Darat. Mugiyanto menjabat Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan dalam pemerintahan Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pertemuan itu, Mugiyanto memberikan uang Rp 1miliar kepada setiap keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1998. "Ketika itu disampaikan bahwa ini uang tali kasih dari Pak Prabowo," kata Paian, Ahad, 3 November 2024, menyebut nama presiden. "Itu bukan uang tutup mulut, melainkan tali kasih. Saya akan tetap memperjuangkan keadilan sekalipun sudah diberi uang."
Paian adalah ayah Ucok Munandar Siahaan, aktivis yang diduga diculik dan masih belum kembali hingga hari ini.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat sebanyak 23 orang menjadi korban penculikan pada 1997-1998. Dari jumlah itu, Leonardus Gilang dinyatakan meninggal, sembilan orang dilepaskan, termasuk Mugiyanto, dan 13 orang belum kembali.
Selain Mugiyanto, mereka dilepaskan itu adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Riza, Rahardjo Waluyo, Nezar Patria, Aan Rusdianto, dan Andi Arief. Sebagian besar dari mereka kini berada dalam barisan pendukung pemerintahan Prabowo Subianto, mantan Komandan Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat yang memimpin Tim Mawar. Mugiyanto naik jabatan menjadi Wakil Menteri Hak Asasi Manusia, Nezar Patria sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, serta Faisol Riza menjabat Wakil Menteri Perindustrian.
Adapun 13 aktivis yang hilang hingga kini adalah Ucok Munandar Siahaan, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, Abdun Nasser, dan Ismail.
Saat diwawancarai Tempo pada 3 November 2013, Prabowo Subianto mengatakan hanya melaksanakan tugas dalam peristiwa penculikan tersebut. "Sesuatu yang dibilang benar pada saat itu, begitu ada pergantian rezim, lalu dinyatakan salah. Saya tidak ke mana-mana, saya bertanggung jawab, saya tidak ngumpet. Persoalannya apa?" kata Prabowo.
Paian Siahaan mengatakan, beberapa hari sebelum pertemuan itu, Mugiyanto menghubunginya tanpa memberi tahu bahwa akan memberikan uang kepada keluarga korban penghilangan paksa aktivis 1998.
Menurut Paian, keluarga korban penculikan memang yang lebih dulu berinisiatif menghubungi Mugiyanto agar Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) periode 2000-2014 itu bisa mempertemukan keluarga korban dengan Prabowo Subianto. Saat itu Prabowo sudah dinyatakan sebagai pemenang pemilihan presiden 2024.
Wakil Menteri Hak Asasi Manusia Mugiyanto Sipin saat mengikuti pembekalan Kabinet Merah Putih di Lapangan Pancasila, Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, 25 Oktober 2024. ANTARA/Muhammad
Paian dan keluarga korban lain ingin memastikan sikap Prabowo dalam penuntasan kasus penghilangan paksa aktivis 1998 setelah dilantik menjadi presiden. Paling tidak, mereka ingin memastikan komitmen Prabowo atas kelanjutan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial yang digagas Presiden Jokowi. "Di era Pak Jokowi, itu sudah digagas. Kami ingin tahu seperti apa dengan Pak Prabowo," kata Paian.
Dalam pertemuan itu, Paian dan keluarga korban lain tidak bertemu dengan Prabowo karena tengah berada di luar negeri. Mereka hanya bertemu dengan Dasco dan Habiburokhman.
Sekretaris Umum IKOHI Zaenal Muttaqin mengatakan pertemuan antara keluarga korban penghilangan aktivis 1998 dan pihak Prabowo cukup mengagetkan. Sebab, dua pekan sebelumnya, pengurus IKOHI dan keluarga korban menggelar rapat. Rapat itu membahas upaya advokasi dan perjuangan penuntasan kasus 1998 pada masa pemerintahan Prabowo.
Zaenal mengatakan pertemuan di Hotel Fairmont itu digagas Mugiyanto tanpa sepengetahuan IKOHI. "Operasi itu bertujuan menggembosi perjuangan keluarga korban dengan memberi uang senilai Rp 1 miliar per keluarga korban," ujarnya.
Zaenal menegaskan, hasil pertemuan tersebut tidak mewakili semua keluarga korban penghilangan paksa pada 1998. Sebab, sebagian keluarga korban tetap menghendaki penuntasan kasus 1998 lewat jalur yudisial. Meski begitu, ia tak menyalahkan keluarga korban yang berdamai dengan pihak Prabowo.
Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, salah satu anggota keluarga korban yang tetap mendorong penuntasan kasus 1998. Ia menduga Mugiyanto memanfaatkan keluarga korban penghilangan paksa untuk kepentingan politik. Indikasinya makin jelas ketika Mugiyanto masuk kabinet pemerintahan Prabowo.
"Tidak hanya menggembosi perjuangan, upaya ini juga bentuk pengkhianatan terhadap korban dan keluarganya," ucap Wahyu, Ahad, 3 November 2024.
Mugiyanto, Habiburokhman, dan Dasco belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Dasco pernah membenarkan pertemuan tersebut.
"Pertemuan dengan keluarga orang hilang dan aktivis 1998 itu dalam rangka silaturahmi, memperkuat tali persaudaraan. Kami enggak bicara macem-macem," katanya di Kompleks Dewan Perwakilan Rakyat pada 5 Agustus 2024.
Wakil Ketua DPR ini mengatakan mereka membicarakan beberapa hal mengenai peristiwa di masa lalu dan proses penyelesaiannya pada masa pemerintahan Jokowi. Namun Dasco tak menegaskan bahwa peristiwa di masa lalu itu adalah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Istri aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib, Suciwati, di Gedung Komnas HAM, Jakarta, 15 Maret 2024. TEMPO/Subekti
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan kasus penghilangan paksa aktivis pada 1997-1998 termasuk pelanggaran HAM berat. Selain itu, Komnas HAM merekomendasikan 11 kejahatan kemanusiaan masa lalu lain sebagai pelanggaran HAM berat, di antaranya peristiwa 1965-1966; penembakan misterius pada 1982-1985; kasus Talangsari, Lampung, pada 1989; kasus Rumah Geudong, Aceh, pada 1989; kerusuhan Mei pada 1998; peristiwa Trisakti serta kasus Semanggi I-II, Jakarta, pada 1998-1999.
Selain itu, kasus pembunuhan dukun santet pada 1998-1999; tragedi Simpang Kraft, Aceh, pada 1999; peristiwa Wasior, Papua, pada 2001-2002; insiden Wamena, Papua, pada 2003; serta peristiwa Desa Jambo Keupok, Aceh, pada 2003.
Saat ini Komnas HAM juga tengah melakukan penyelidikan pro justitia terhadap tiga kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Ketiga kasus itu adalah pembunuhan pegiat HAM, Munir Said Thalib, pada 2004; pembantaian warga Aceh di area perkebunan sawit PT Bumi Flora di Julok, Kabupaten Aceh Timur, pada 2001; serta Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) di Jakarta pada 1996.
Komnas HAM akan memastikan ketiga kasus tersebut memenuhi unsur pelanggaran HAM berat atau tidak. Penetapan ketiga kasus itu sebagai pelanggaran HAM berat sangat penting agar penegak hukum tetap dapat mengusut kejahatan kemanusiaan tersebut. Pasal 46 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia mengatur bahwa ketentuan masa kedaluwarsa tidak berlaku untuk kasus pelanggaran HAM berat.
Berbeda dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur perkara pidana dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup akan kedaluwarsa setelah 18 tahun.
Komisioner Komnas HAM, Pramono Ubaid, mengatakan dua dari tiga kasus tersebut sedang dalam proses perampungan laporan hasil penyelidikan. Keduanya adalah kasus pembunuhan Munir dan pembantaian warga sipil di Bumi Flora. Pramono belum dapat memastikan kapan lembaganya akan menggelar rapat pleno untuk kedua kasus tersebut.
"Peristiwa Kudatuli sifatnya masih pengkajian. Kasus Bumi Flora serta Munir merupakan warisan (Komnas HAM) periode lalu dan kami meneruskannya. Dua kasus yang terakhir mulai ditulis laporannya," ujar Pramono, Ahad, 3 November 2024.
Dua orang sumber Tempo menginformasikan bahwa ada upaya dari lingkaran pemerintahan Prabowo agar kedua kasus tersebut tidak dibawa ke rapat pleno pada masa seratus hari pemerintahan Prabowo. Masa seratus hari terhitung sejak Prabowo dilantik sebagai presiden periode 2024-2029 pada 20 Oktober 2024.
Seorang elite Partai Gerindra disebut-sebut pernah menyampaikan permintaan itu kepada Komnas HAM. Saat dimintai konfirmasi, Sufmi Dasco Ahmad mengaku tidak mengetahui soal itu.
"Saya tidak tahu soal apa saja yang dikerjakan Komnas HAM," katanya, Ahad, 3 November 2024.
Dasco juga memastikan Gerindra ataupun pemerintahan Prabowo tetap mendukung penuntasan kasus HAM. Ia mengatakan keberadaan Kementerian Hak Asasi Manusia menjadi bukti dukungan pemerintahan Prabowo dan Gerindra terhadap penyelesaian kasus-kasus HAM.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan tidak mengetahui soal itu. "Saya tidak tahu informasi itu," ucapnya, Ahad, 3 November 2024. Ia menyatakan semua penyidikan perkara di Komnas HAM berjalan sesuai dengan prosedur.
Pramono Ubaid menepis informasi bahwa ada permintaan dari lingkaran pemerintahan Prabowo untuk menghentikan penyelidikan kasus pembunuhan Munir dan pembantaian warga sipil di Bumi Flora. Ia mengatakan tim penyelidikan kedua perkara itu masih terus bekerja.
"Tapi, kalaupun ada (permintaan tersebut), itu tidak mempengaruhi kerja kami," ujarnya.
Pramono berdalih, tantangan lembaganya dalam menyelidiki kasus tersebut adalah masalah internal, yaitu keterbatasan anggaran dan tenggat kerja tim ad hoc penyelidikan kedua perkara. Masa kerja tim penyelidikan kedua kasus ini akan berakhir pada Desember 2024.
Komisioner Komnas HAM periode 2017-2022, Beka Ulung Hapsara, mendapat informasi ihwal adanya permintaan agar Komnas HAM tidak menetapkan penyelidikan kasus kejahatan kemanusiaan masa lalu sebagai pelanggaran HAM berat dalam seratus hari pemerintahan Prabowo. "Saya hanya dapat selentingan informasi, tapi detailnya saya tidak mengkonfirmasi lebih jauh," katanya.
Beka melanjutkan, Komnas HAM sudah terbiasa menghadapi berbagai tekanan ketika menangani suatu perkara. "Biasanya Komnas HAM tetap mempertahankan independensi dalam menjalankan fungsinya," tuturnya.
Istri Munir Said Thalib, Suciwati, mengaku tidak mengetahui hal itu. Namun ia melihat gelagat beberapa anggota Komnas HAM yang terkesan tak mau mendudukkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. "Dari pengalaman saya selama ini, setiap kali ada proses penyelesaian kasus Cak Munir, pasti ada hambatan. Ini hal yang sudah biasa buat saya," kata Suciwati.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Nandito Putra, Novali Panji Nugroho, dan Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini