Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Perhimpunan Guru Usul Jokowi Buat Inpres Seragam Sekolah

Selain mengusulkan Jokowi membuat Inpres, Perhimpunan Guru menyarankan 3 kementerian membahas tindak lanjut keputusan Mahkamah Agung.

9 Mei 2021 | 10.10 WIB

Seorang anak mencoba seragam sekolah di Pasar Pocis, Serang, Banten, Rabu, 8 Juli 2020. Sejumlah penjual menyatakan meski tahun ajaran baru 2020/2021 segera dimulai tapi omzet penjualan baju seragam tahun ini turun drastis hingga 75 persen dibanding tahun lalu karena belum ada kepastian kapan kegiatan di sekolah mulai dibuka kembali. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Perbesar
Seorang anak mencoba seragam sekolah di Pasar Pocis, Serang, Banten, Rabu, 8 Juli 2020. Sejumlah penjual menyatakan meski tahun ajaran baru 2020/2021 segera dimulai tapi omzet penjualan baju seragam tahun ini turun drastis hingga 75 persen dibanding tahun lalu karena belum ada kepastian kapan kegiatan di sekolah mulai dibuka kembali. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyarankan Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan instruksi presiden (Inpres) tentang seragam sekolah sehubungan dibatalkannya SKB 3 Menteri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

"Pemerintah dapat saja mengeluarkan Inpres terkait Pengaturan Seragam Sekolah dengan dasar penghargaan terhadap nilai-nilai toleransi, kebhinekaan, berkeadilan, inklusif, dan transparansi agar kedudukannya secara hukum lebih kuat," kata Satriwan dalam keterangannya, Ahad, 9 Mei 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Satriwan mengaku sempat khawatir dibatalkannya SKB 3 Menteri tentang seragam sekolah oleh Mahkamah Agung akan memunculkan potensi sikap intoleransi, melalui aturan sekolah maupun peraturan daerah.

Namun, Satriwan tak menampik bahwa masih ada sejumlah catatan terkait SKB 3 Menteri. Misalnya, secara yuridis formal, SKB tidak dapat membatalkan sebuah Perda. "Rasanya demikian logika MA. Kemudian pengaturan seragam sekolah pun sudah ada mengingat sudah adanya Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014," katanya.

Selain itu, Satriwan juga menemukan adanya poin-poin SKB yang multitafsir. Ia menyebutkan pada poin 3 berbunyi: dalam rangka melindungi hak peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam diktum kedua, pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.

Menurut guru di sekolah swasta Jakarta ini, bunyi poin 3 membingungkan dan membatasi kewenangan, khususnya bagi guru pendidikan agama. Sebab, dalam proses pembelajaran di kelas, guru pendidikan agama akan mengimbau siswa seagama untuk mengenakan atribut keagamaan karena masuk dalam struktur dan materi kurikulum pelajaran agama tersebut.

"Jadi membingungkan guru agama, di satu sisi ada dalam kurikulum di sisi lain SKB melarangnya, jadi saling bertolak-belakang aturannya," ujar Satriwan.

Poin 5 Huruf d pada SKB, kata Satriwan, juga kontradiktif dengan kewajiban negara membiayai proses pendidikan di sekolah melalui skema Dana BOS. Tapi dalam aturan ini, Kemendikbud mengancam akan memberi sanksi melalui Dana BOS bagi sekolah jika melanggar SKB ini.

Satriwan menilai poin tersebut merugikan siswa karena mendapatkan perlakuan intoleran terkait seragam. Juga dana BOS adalah hak siswa dalam belajar yang sesuai undang-undang. Sehingga, ancaman sanksi pelanggaran SKB mestinya bukan lewat pemotongan dana BOS.

Dengan dibatalkannya SKB 3 Menteri, Satriwan menyarankan Kemendagri, Kemendikbudristek, dan Kemenag untuk duduk bersama kembali membahas tindak lanjut keputusan MA. "P2G sepakat jika fenomena intoleransi di dunia pendidikan (sekolah) harus segera diakhiri melalui mekanisme hukum," ujarnya. Salah satu mekanisme hukum yang dimaksud Satriwan adalah melalui Inpres yang bisa dikeluarkan oleh Presiden Jokowi.

FRISKI RIANA

Friski Riana

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus