Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Octania Wynn, menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan atau Perpu Ormas mengancam pemenuhan hak dan kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi masyarakat termasuk bagi kelompok minoritas gender.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Begitu terkekangnya atau tidak terpenuhinya hak berkumpul dan berorganisasi yang dimiliki oleh kelompok gender minoritas,” kata Octania, dalam diskusi di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, pada Senin, 9 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan, salah satu bentuk persekusi yang diterima kelompok minoritas gender adalah pembubaran pondok pesantren waria atau transpuan di Yogyakarta. Selain itu, kata Octania, para transpuan itu dikategorikan masyarakat sebagai perbuatan yang menyimpang dan dinilai mempersulit kemajuan di daerahnya.
“Kerap kali mendapatkan persekusi dan tidak bisa memenuhi hak berkumpul dan berorganisasinya,” ujarnya.
Pernyataan itu disampaikan Octania saat menyampaikan hasil riset dari Koalisi Kebebasan Berserikat terhadap kebijakan pemerintahan era Presiden Joko Widodo yang dinilai membatasi hak dan kebebasan terhadap masyarakat sipil.
Adapun bentuk pengekangan itu, kata Octania, muncul ketika Jokowi meneken Perpu Ormas pada 2017 silam. Sebab, Perppu itu dapat menjadi celah untuk membubarkan sebuah organisasi tanpa mekanisme pengadilan.
Octania mencontohkan organisasi kelompok masyarakat atau kegiatan yang terdampak atas hadirnya Perpu itu adalah ormas Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI. Pembubaran HTI dilakukan karena pemerintah menilai ormas itu anti Pancasila.
Selain itu, Octania mengatakan belasan jemaat Gereja Bethel Indonesia atau GBI Solagracia di Lubuk Begalung, Padang, Sumatera Utara, mendapat perlakuan intimidasi, ancaman, dan pembubaran saat menggelar kebaktian di sebuah rumah pada 2023 lalu.
Octania mengatakan pembubaran terhadap kegiatan kelompok masyarakat tidak hanya dilakukan oleh ormas lain. Pemerintah, kata dia, ikut andil lewat perpanjangan tangan aparat penegak hukum yakni kepolisian.
Umumnya, keterlibatan polisi dalam pembubaran itu juga menyasar kepada kegiatan diskusi publik. Misalnya, aktivitas akademik yang dilakukan oleh mahasiswa seperti menggelar diskusi publik.
Berkaca dari sejumlah tindak pengekangan terhadap hak berorganisasi dan berkumpul, Octania menyimpulkan, pelaku dari tindakan menghalangi pemenuhan hak itu juga dilakukan sesama masyarakat sipil. “Tidak hanya dari negara, tapi juga dari masyarakat sipil,” tutur Octania.
Pilihan editor: Soal Kebijakan Cukai Minuman Berpemanis, Menkes: Belum Dibahas