Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Media sosial kembali diramaikan dengan isu ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo dengan munculnya analisa seorang mantan dosen Universitas Mataram Rismon Hasiholan Sianipar. Ia menyangsikan keaslian ijazah dan skripsi Jokowi sebagai lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rismon menyampaikan argumen bahwa lembar pengesahan dan sampul skripsi Jokowi menggunakan font Times New Roman yang menurutnya belum ada di era tahun 1980-an hingga 1990-an. Jokowi diketahui lulus dari Fakultas Kehutanan UGM pada 1985. Argumen itu pun kembali menimbulkan keriuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menanggapi polemik tersebut, Dekan Fakultas Kehutanan UGM Sigit Sunarta menyesalkan adanya informasi yang menyesatkan yang disampaikan Rismon. Apalagi mantan dosen ini merupakan alumnus dari Prodi Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM.
“Kita sangat menyesalkan informasi menyesatkan yang disampaikan oleh seorang dosen yang seharusnya bisa mencerahkan dan mendidik masyarakat dengan informasi yang bermanfaat,” kata Sigit, Jumat, 21 Maret 2025.
Sigit menyampaikan sebagai seorang dosen seharusnya Rismon dalam menyimpulkan suatu informasi harus didasarkan pada fakta dan metode penelitian yang baik. Menurut Sigit, seharusnya Rismon tidak hanya menampilkan ijazah dan skripsi Jokowi saja yang ditelaah namun harus juga melakukan perbandingan dengan ijazah dan skripsi yang diterbitkan pada tahun yang sama di Fakultas Kehutanan.
Dalam argumen yang disampaikan lewat video di akun Youtube Balige Academy, Rismon meyakini bahwa ijazah S1 Kehutanan Jokowi pada 1985 adalah palsu. “100 miliar persen palsu,” katanya seperti dikutip dari video berjudul “Ijazah Palsu Joko Widodo Berdasarkan Analisa Jenis Font dan Operating System”, Selasa, 11 Maret 2025.
Rismon meyakini bahwa ijazah Jokowi palsu berdasarkan dua aspek, yakni font pada ijazah itu dan nomor seri pada ijazah yang hanya berupa foto copy itu. Menurut dia, penggunaan font Times New Roman dalam ijazah itu janggal. Sebab, menurut dia, jenis huruf itu tidak mungkin sudah ada pada tanggal 5 November 1985 saat ijazah itu diterbitkan UGM.
“Karena Window OS versi 1.01 dirilis 20 November 1985 atau 15 hari setelah ijazah Jokowi itu diterbitkan UGM. Sedang Windows versi 3.1 (di mana font Times New Romans difungsikan) dirilis pada tanggal 6 April 1992. Konfirm ijazah ini palsu,” kata Rismon dalam video.
Rismon juga membandingkan ijazah Jokowi dengan ijazah seorang alumni UGM yang lain yang bernama Bambang Nurcahyo Prastowo. Ia menilai ijazah Jokowi menggunakan jenis font Times New Roman, sedangkan ijazah Bambang merupakan font standar dari komputer yang masih menggunakan DOS (Disk Operating System). “Kalau font pada ijazah Jokowi ini karena menggunakan jenis font Times New Roman, ini menggunakan Windows,” katanya.
Soal penggunaan font Times New Roman pada sampul skripsi dan ijazah seperti yang dituduhkan oleh Rismon, Sigit menegaskan bahwa di tahun itu sudah jamak mahasiswa menggunakan font Times New Roman atau huruf yang hampir mirip dengannya, terutama untuk mencetak sampul dan lembar pengesahan di tempat percetakan. Bahkan di sekitaran kampus UGM itu sudah ada percetakan seperti Prima dan Sanur (kini sudah tutup) yang menyediakan jasa cetak sampul skripsi.
“Fakta adanya mesin percetakan di Sanur dan Prima juga seharusnya diketahui yang bersangkutan karena yang bersangkutan juga kuliah di UGM,” kata Sigit.
Sigit mengatakan sampul dan lembar pengesahan skripsi Jokowi dicetak di percetakan, namun seluruh isi tulisan skripsinya setebal 91 halaman tersebut masih menggunakan mesin ketik. “Ada banyak skripsi mahasiswa yang menggunakan sampul dan lembar pengesahan dengan mesin percetakan,” kata dia.
Soal nomor seri ijazah Joko Widodo yang disebut tidak menggunakan klaster namun hanya angka saja, Sigit menuturkan soal penomoran ijazah di masa itu, Fakultas Kehutanan memiliki kebijakan sendiri dan belum ada penyeragaman dari tingkat universitas. Penomoran tersebut tidak hanya berlaku pada ijazah Jokowi namun berlaku pada semua ijazah lulusan Fakultas Kehutanan.
“Nomor tersebut berdasarkan urutan nomor induk mahasiswa yang diluluskan dan ditambahkan FKT, singkatan dari nama fakultas,” kata Sigit.
Sigit kembali menyesalkan tuduhan Rismon yang menilai ijazah Jokowi yang diterbitkan oleh UGM adalah palsu. “Perlu diketahui ijazah dan skripsi dari Joko Widodo adalah asli. Ia pernah kuliah di sini, teman satu angkatan beliau mengenal baik beliau, beliau aktif di kegiatan mahasiswa (Silvagama), beliau tercatat menempuh banyak mata kuliah, mengerjakan skripsi, sehingga ijazahnya pun dikeluarkan oleh UGM adalah asli,” kata dia.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Senat Fakultas Kehutanan San Afri Awang. Ia menyesalkan informasi sesat yang disampaikan oleh Rismon.
San Afri mengaku punya pengalaman sendiri soal penggunaan font Times New Roman di sampul skripsi. “Saya masih ingat waktu saya buat cover (skripsi), lari ke Prima. Di zaman itu sudah ada tempat cetak sampul yang terkenal, Prima dan Sanur. Soal diketik pakai mesin komputer, jangan heran di sekitar UGM juga sudah ada jasa pengetikan menggunakan komputer IBM PC. Saya sempat pakai buat mengolah data statistik,” kata kakak angkatan Jokowi ini.
Meski begitu, kata San Afri, tidak semua mahasiswa Fakultas Kehutanan memilih mencetak sampul di jasa percetakan. Ada juga mahasiswa yang memilih mencetak sampul dan lembar pengesahan menggunakan tulisan dari mesin ketik. “Kawan saya yang secara ekonomi tidak mampu, banyak yang membuat lembar sampul dan pengesahan dengan mesin ketik,” ujarnya.
Karena itu, San Afri mengaju heran masih ada pihak yang menyerang institusi UGM dan menyebutkan bahwa ijazah dan skripsi Jokowi itu palsu. Isu tersebut, menurut dia, semakin liar dengan ditambahkan analisis yang tidak sesuai fakta. “Dia (Joko Widodo) lulus dari sini dan buktinya ada kok,” katanya.
Frono Jiwo, salah satu teman seangkatan Jokowi saat kuliah di Fakultas Kehutanan UGM mengaku prihatin dengan informasi yang beredar tentang ijazah dan skripsi palsu itu. Ia bercerita dirinya merupakan teman satu angkatan dengan Jokowi yang sama-sama masuk kuliah pada 1980 dan wisuda bersama pada 1985. “Kami seangkatan dengan Pak Jokowi, masuk tahun 1980,” kata dia.
Soal ijazah, Frono mengaku tampilan ijazahnya sama dengan Jokowi. Ijazahnya juga menggunakan font yang sama, ditandatangani oleh Rektor Prof. T Jacob dan Dekan Prof Soenardi Prawirohatmodjo. Hanya saja yang berbeda dari nomor kelulusan. “Ijazah saya bisa dibandingkan dengan ijazahnya Pak Jokowi. Semua sama kecuali nomor kelulusan ijazah dari Universitas dan Fakultas,” ujarnya.
Sedangkan soal skripsi, Frono bercerita seluruh mahasiswa satu angkatannya menulis skripsi menggunakan mesin ketik. Sedangkan sampul, lembar pengesahan dan penjilidan hampir semuanya dilakukan di percetakan. “Pembuatan skripsi semua pakai mesin ketik, walaupun sudah ada komputer tapi jarang sekali yang bisa. Kalau sampul, lembar pengesahan, penjilidan skripsi semua di percetakan,” kata dia.
Tidak hanya kuliah dan lulus bersama, Frono dan Jokowi melamar pekerjaan di perusahaan yang sama di Aceh, yqitu PT Kertas Kraft Aceh (Persero). Namun, menurut Frono, Jokowi hanya bekerja selama dua tahun saja karena sang istri, Iriana Jokowi, tidak betah tinggal di tengah area hutan pinus yang berada di wilayah sekitaran Aceh Tengah.
“Kami bertiga, Pak Jokowi, saya dan almarhum Hari Mulyono (adik ipar Jokowi) bareng-bareng masuk kerja. Setelah Pak Jokowi menikah, Ibu Iriana kayaknya tidak betah karena basecamp berada di tengah hutan pinus di Aceh Tengah, Pak Jokowi resign dulu, tinggal saya dan almarhum Hari Mulyono,” kata Frono.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana UGM Marcus Priyo Gunarto menilai tuduhan Rismon soalmijazah palsu Jokowi harus bisa dibuktikan. Menurut Marcus, ada dua tindakan pemalsuan dalam ranah hukum pidana, yakni membuat palsu dan memalsukan. Membuat palsu artinya dokumen asli tidak pernah ada namun pelaku membuat surat atau akta dalam hal ini ijazah, seolah-olah itu ada dan asli padahal sebelumnya tidak pernah ada. “Itu namanya membuat palsu,” kata dia.
Selanjutnya, soal tindakan memalsukan, dalam hal ini ijazah atau skripsi yang dulunya pernah ada, tetapi mungkin rusak atau hilang, kemudian membuat dokumen baru seolah-olah itu adalah asli. “Dua duanya adalah kejahatan, dan ada ancaman pidana. Ini (Rismon) tidak jelas yang dituduhkan, memalsukan atau membuat palsu,” kata Marcus.
Dari kemungkinan dua tuduhan yang berpotensi dialamatkan ke Jokowi dan UGM dinilai Marcus sangat lemah. Sebab, dokumen-dokumen yang dimiliki Fakultas Kehutanan UGM memiliki banyak data pendukung yang menunjukkan bahwa Jokowi pernah kuliah, ujian dan ikut yudisium. “Yang bersangkutan pernah wisuda, dan ada berita acara yang menunjukkan peristiwa tersebut, maka ijazah memang pernah ada. Bisa dibuktikan dan dapat ditemukan di Fakultas Kehutanan,” katanya.
Marcus juga menyesalkan masih ada pihak yang melontarkan isu dan menuduh bahwa UGM melindungi Jokowi terkait kepemilikan ijazah dan skripsi palsu. Tuduhan tersebut dianggapnya keliru. “Jika kemudian ada dugaan bahwa UGM melakukan perlindungan atau perbuatan seolah-olah hanya untuk kepentingan Joko Widodo, itu sangat salah dan gegabah,” ujarnya.
Polemik ijazah palsu Jokowi pernah mengemuka beberapa tahun lalu. Bahkan sempat dibawa ke ranah hukum. Pada 3 Oktober 2022, Bambang Tri menggugat Jokowi ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat ihwal dugaan menggunakan ijazah palsu saat mengikuti pemilihan presiden (pilpres) pada 2019. Gugatan terdaftar dengan klasifikasi perkara perbuatan melawan hukum (PMH).
Dalam gugatannya, Bambang meminta agar Jokowi dinyatakan telah melakukan PMH karena menyerahkan dokumen ijazah yang berisi keterangan tidak benar dan atau memberikan dokumen palsu sebagai kelengkapan syarat pencalonannya dalam proses Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019. Syarat pencalonan tersebut tertuang dalam Pasal 9 Ayat (1) huruf r Peraturan KPU Nomor 22 Tahun 2018. Pada akhirnya, Bambang mencabut gugatan tersebut dan justru kemudian dihukum atas tuduhan ujaran kebencian.