Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengatakan revisi UU Penyiaran bukan mengatur larangan jurnalisme investigasi yang berfokus pada pendalaman suatu kriminal tertentu, seperti mengungkap bisnis makanan tidak sehat, judi online, atau sindikat narkotika. Namun, kata dia, revisi itu untuk mengatur penggunaan frekuensi publik untuk menyiarkan gosip secara eksklusif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Yang dimaksud (pelarangan konten siaran) itu adalah penggunaan frekuensi publik untuk penyiaran gosip dengan hak eksklusif. Misalnya, ada artis nikah terus disiarkan berhari-hari secara eksklusif menggunakan frekuensi publik. Itu yang diatur,” ujar Sukamta, dikutip melalui keterangan resmi DPR RI pada Selasa, 12 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus PKS itu menegaskan bahwa larangan terhadap jurnalisme investigasi tidak tepat dan akan ditentang jika terjadi.
“Kalau yang dimaksud adalah larangan terhadap jurnalisme untuk melakukan investigasi, saya kira itu tidak pas, dan kalau itu terjadi ya nanti kami akan menentang itu ya,” imbuh dia.
Sukamta juga menjelaskan mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan terhadap suatu pemberitaan yang dilayangkan salah satu pihak. Menurut dia, selama ini penyelesaian perselisihan antara media penyiaran dengan seseorang atau satu pihak dilakukan melalui dua cara, yakni hak jawab dan pengadilan. Namun, dia mengusulkan adanya mekanisme mediasi antara hak jawab dan pengadilan untuk mengurangi benturan keras antara dua pihak.
“Nah siapa yang diberi kewenangan mediasi? Karena ini babnya adalah soal penyiaran, kita berpikir KPI yang paling pas untuk diberikan kewenangan sebagai mediator di situ,” ujar Sukamta.
Dia menambahkan bahwa dengan mekanisme seperti itu, kewenangan Dewan Pers tidak akan terganggu karena fungsi Komisi Penyiaran Indonesia hanya terkait penyiaran. Sukamta menilai, perlu ada diskusi Dewan Pers dengan Komisi I supaya ada solusi untuk kasus di penyiaran.
Belakangan, rencana revisi atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran banyak mendapat penolakan dari komunitas pers. Revisi yang tengah berjalan ini dikhawatirkan mengancam kebebasan pers hingga ruang digital.
Dalam draf revisi UU Penyiaran yang dilansir melalui laman DPR RI per Maret 2024, terdapat Pasal 50B ayat 2 yang mencantumkan berbagai larangan, termasuk:
a. Isi siaran dan konten siaran soal narkotika, psikotropika, zat adiktif, alkohol, dan perjudian
b. Isi siaran dan konten siaran terkait rokok
c. Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi
d. Penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat
e. Penayangan aksi kekerasan dan/atau korban kekerasan
f. Penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung unsur mistik
g. Penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender
h. Penayangan isi siaran dan konten siaran pengobatan supranatural
i. Penayangan rekayasa negatif informasi dan hiburan melalui lembaga penyiaran dan penyelenggara platform digital penyiaran
j. Menyampaikan isi siaran dan konten siaran yang secara subjektif menyangkut kepentingan politik yang berhubungan dengan pemilik dan/atau pengelola lembaga penyiaran dan penyelenggara platform digital penyiaran
k. Penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Pilihan Editor: Syarat Masuk IPDN 2024, Nilai Rapor, dan Batas Usianya