Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sejak Kapan Muncul Lembaga Survei Lakukan Survei Capres di Indonesia?

Hasil survei capres berbagai lembaga survei makin marak menjelang Pilpres 2024. Kapan mulai berkembangnya survei capres itu di Indonesia?

20 Juni 2022 | 12.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, dalam paparan hasil survei terhadap 11 Capres potensial pada Pemilu 2024 di Jakarta, Minggu, 6 Maret 2022. Tempo/Fajar Pebrianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hasil Survei Capres oleh Lembaga Poltracking Indonesia menunjukkan mayoritas masyarakat menginginkan figur yang perhatian, bersih dari korupsi, dan berpengalaman. Survei terkait Pilpres 2024 itu dilakukan dengan wawancara tatap muka terhadap 1.220 responden di 34 provinsi di Indonesia, pada 16 hingga 22 Mei 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membahas soal survei capres, sejak kapan survei capres ini berkembang di Indonesia dan Bagaimana survei capres pertama kali diadakan?

Sejarah Survei Capres Amerika Serikat

Survei capres pertama kali dilakukan pada 1824 di Amerika Serikat atau AS. Kala itu, survei diadakan untuk mengetahui preferensi rakyat AS terhadap calon presidennya. Hasil jajak pendapat pada Survei Capres yang pertama kali itu menunjukkan Andrew Jackson unggul atas John Quincy Adams. Sejak saat itu, jajak pendapat terkait prediksi calon presiden kian digemari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikutip dari laman journal,sagepub.com, James W Tankard menuliskan dalam "Public Opinion Polling by Newspapers in the Presidential Election Campaign of 1824" tentang sejarah survei di Amerika Serikat tersebut.

Kemudian pada 1916, majalah Literary Digest turut melakukan survei nasional untuk memprediksi presiden yang akan terpilih. Majalah itu dengan tepat memprediksi Woodrow Wilson terpilih sebagai presiden. Pada pemilu berikutnya, majalah itu juga berhasil memprediksi kemenangan Warren Harding pada 1920, Calvin Coolidge pada 1924, Herbert Hoover pada 1928, dan Franklin Roosevelt pada 1932.

Dalam melakukan jajak pendapat, majalah Literary Digest mengirimkan jutaan kartu pos kepada partisipan. Namun cara ini dinilai boros dan persebaran respondennya tidak merata. Selain itu, survei juga menunjukkan adanya bias dari partisipasi. Hal ini terbukti pada survei capres 1936. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa Alf Landon akan memenangkan pemilu presiden Amerika Serikat. Namun ternyata Roosevelt terpilih kembali.

Peneliti George Gallup menemukan bahwa partisipan yang menyukai Landon lebih antusias mengembalikan kartu pos mereka. Sehingga Landon menang dalam jajak pendapat prediksi preferensi presiden kala itu. Setelah menemukan adanya kejanggalan dalam survei majalah Literary Digest, Gallup kemudian membuat metode surveinya sendiri. Metode yang dibuat Gallup ini menggantikan cara survei majalah Literary Digest yang dinilai naif, boros, dan persebaran respondennya tidak merata itu.

Survei Capres di Indonesia

Secara histori, survei capres tidak pernah diadakan selama periode pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Menurut Penulis dan juga Dosen Senior di Australian National University, Marcus Mietzner, lembaga survei untuk menghimpun jajak pendapat terkait politik lazimnya lahir di negara di mana rakyat memiliki kebebasan sipil dan politik yang substansial. Inilah yang menjadi alasan mengapa di era sebelum reformasi, survei jajak pendapat terkait kepresidenan tidak eksis. Sebab kala itu, terutama di era Orde Baru yang terkenal otoriter, masyarakat belum bebas berpendapat.

Menurut Mietzner, jajak pendapat di dalam pemerintahan otoriter dianggap mencerminkan atau bahkan dapat memperburuk ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah. “Di negara-negara otoriter atau pseudo-demokratis, penerbitan hasil-hasil jajak pendapat lazim dicekal atau dihambat,” tulis Mietzner dalam artikel bertajuk “Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?” yang dipublikasikan di Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia edisi 165 jilid 1 (2009).

Alasan lain, survei jajak pendapat terkait capres membutuhkan metodologi yang dirancang secara saksama, peneliti yang berpengalaman, serta responden dalam jumlah besar. Bagi Indonesia yang masih berkembang, Survei Capres membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sehingga wajar bila survei terkait calon presiden belum dilakukan di masa-masa pra reformasi.

Kendati demokrasi parlementer telah berdiri pada masa awal Republik Indonesia pada 1950 hingga 1957, menurut penulis di Cornel University, J. Eliseo Rocamora, partai-partai politik kala itu kekurangan keterampilan serta dana untuk mengerjakan survei atas para pemilih, seperti dikutip dari bukunya Nationalism in Search of Ideology: The Indonesian Nationalist Party 1946-1965 (1975).

Di Indonesia, survei capres berupa jajak pendapat politik mulai terselenggara secara semi-profesional setelah Soeharto lengser. Survei diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES). Pada peneliti di LP3ES sudah tidak asing dengan metode-metode pengambilan sampel berbasis hitung-hitungan.

Sebab, pada pemilu terakhir Orde Baru pada 1997, mereka telah mengadakan survei hitung cepat untuk kawasan Jakarta. LP3ES juga pernah menyelenggarakan survei pada pemilihan legislatif 1999, di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie, sekalipun masih kekurangan sumber daya.

Survei capres di Indonesia pertama kali dilakukan menjelang Pemilu 2004. Berbagai lembaga survei kala itu menyatakan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebagai kandidat terkuat presiden. Prediksi itu benar. SBY memang menang Pemilu Presiden 2004 dengan raupan suara 33,57 persen pada putaran pertama dan 60,62 persen pada putaran berikutnya.

HENDRIK KHOIRUL MUHID 

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus