Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memprotes kebijakan baru bantuan operasional sekolah (BOS) pemerintah. Menurut Wakil Sekjen FSGI Satriwan Salim, kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2020 itu berpotensi diskriminatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Risiko tersebut tergambar dalam syarat penyaluran BOS untuk upah guru honorer yang mewajibkan tenaga pengajar mengantongi nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan. "Guru honorer yang tersebar di daerah jumlahnya ratusan ribu yang belum memiliki NUPTK. Maka dengan prasyarat ini, guru tersebut tidak akan memperoleh upah dari dana BOS," kata Satriwan kepada Tempo di Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengemukakan banyak alasan guru-terutama yang sudah mengajar bertahun-tahun-ogah mengurus NUPTK, salah satunya adalah birokrasi yang ribet. Selain itu, kata dia, tak sedikit guru yang terpaksa mengabaikan kewajiban mengurus NUPTK lantaran tak memiliki akses memadai ke dinas pendidikan setempat.
Syarat lainnya yang dianggap Satriwan membingungkan: guru yang bersertifikat tak boleh menerima upah dari dana BOS. Dia menganggap aturan tersebut justru menambah kesengsaraan lantaran guru penerima sertifikat hanya mendapat tunjangan profesi, bukan gaji bulanan. Fasilitas itu pun cair saban 3–4 bulan. Syarat ini, tutur Satriwan, berpotensi membuat sekolah memungut iuran dari siswa untuk penggajian guru.
Selain menambah kuota alokasi bantuan, pemerintah mencabut kewenangan daerah dalam menyalurkan BOS. Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim mengatakan dana akan dicairkan langsung dari rekening pemerintah ke sekolah-sekolah. Penerima dana juga wajib melaporkan penggunaan dana secara langsung ke laman http://bos.kemdikbud.go.id. Bagi yang belum melaporkan, pemerintah akan menahan pencairan BOS tahap ketiga yang dimulai sejak September.
Guru SMP Islam Terpadu Al Wasi, Garut, Henri Haryadi, mengemukakan kebijakan BOS pemerintah saat ini justru berisiko menciptakan pelanggaran baru di daerah. Menurut dia, banyak sekolah swasta yang mengandalkan BOS untuk menggaji guru honorer. Seperti sekolahnya yang menggunakan 50 persen dana bantuan pada tahun lalu untuk menggaji guru. Dia mengakui sekolahnya sudah melanggar peraturan penggunaan BOS. Namun langkah itu harus ditempuh supaya kegiatan belajar-mengajar di sekolah tetap berjalan.
Tahun lalu, BOS yang mengalir ke SMP IT Al Wasi sekitar Rp 100 juta. Henri melaporkan dana tersebut digunakan untuk menggaji 13 guru dengan besaran upah Rp 25 ribu per jam. Sementara itu, setiap guru di sekolahnya maksimal hanya mengajar delapan jam setiap pekan.
"Jadi, memang sangat kecil upah kami," kata dia, yang juga menjabat operator tata usaha sekolah. Henri mengimbuhkan, hingga saat ini pemerintah setempat juga tak pernah turun tangan dalam membantu penggajian guru honorer.
Seorang guru di Pulau Belakang Padang, Kota Batam, menuntut pemerintah agar memperketat pengawasan dana BOS. Selama ini, pengelolaan BOS di lembaganya hanya diketahui oleh kepala sekolah. "Padahal itu dana publik," ujar dia.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, Menengah, dan Pendidikan Anak Usia Dini Kementerian Pendidikan, Harris Iskandar, tak menampik anggapan bahwa sejumlah syarat yang ditetapkan untuk alokasi dana BOS akan memberatkan sekolah. Namun, dia menuturkan, ketentuan tersebut harus dibuat untuk mencegah sekolah merekrut guru honorer baru dengan menggunakan dana BOS. "Itu kami kunci. Kalau tidak, nanti ada guru honorer baru lagi," kata dia. YOGI EKA SAHPUTRA (BATAM) | ROBBY IRFANY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo