Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Riset Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala (PRKP USK) bersama PT Yakin Pasifik Tuna mengembangkan kosmetik antiaging dari kolagen limbah ikan tuna. Pengembangan penelitian ini sebagai salah satu upaya mengurangi limbah hasil pengolahan ikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Menurut para ahli, limbah ikan tuna memiliki kandungan kolagen yang sangat tinggi,” kata Ketua PRKP USK Haekal Azief Haridhi, Senin, 4 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program tersebut didanai oleh matching fund Kedaireka dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbudristek yang telah berlangsung sejak Agustus hingga November 2023.
Menurut Haekal, ada beberapa tujuan dalam pengembangan penelitian ini. Pertama, program ini bertujuan untuk mengurangi dan mengolah limbah hasil dari pengolahan ikan tuna dan memanfaatkannya menjadi produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis serta meningkatkan nilai dan harga jual limbah perikanan. “Program ini merupakan salah satu upaya dalam mendukung prinsip blue economy, yaitu upaya untuk menjamin kelestarian sumber daya lingkungan pesisir dan laut serta mendorong pertumbuhan ekonomi di industri kelautan dan perikanan,” ujarnya.
Kerja sama kampus dan swasta
Dalam program ini, PT Yakin Pasifik Tuna berkontribusi dalam memilah, menyimpan dan menyuplai limbah tuna. Sedangkan peneliti dari PRKP USK bersama mahasiswa MBKM riset dan magang berperan untuk mengolah limbah tuna menjadi kolagen, kemudian memformulasikan dan menguji kosmetika dengan kandungan kolagen tersebut sebagai agen antiaging.
“Kolagen berkhasiat untuk mencegah keriput, meningkatkan kelembaban kulit, menjaga kulit dari radikal bebas dan menjaga kekencangan serta elastisitas kulit,” kata Haekal.
Saat ini, menurut Haekal, produksi kolagen di Indonesia masih tergolong rendah dan umumnya diperoleh dari hasil impor. Sebagian besar kolagen komersial yang umum digunakan berupa kolagen berbasis ternak atau bersumber dari kulit sapi dan babi. Namun jenis kolagen tersebut memiliki keterbatasan dalam agama dan risiko penularan penyakit terhadap manusia.
“Sehingga kolagen dari limbah perikanan yang berbasis marine dapat menjadi salah satu alternatif pengganti yang baik,” kata Haekal.
Pilihan Editor: Tim Peneliti Ungkap Temuan Baru Soal Erupsi Gunung Anak Krakatau