Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan bonus demografi seharusnya menjadi kekuatan untuk memperkuat demokrasi demi mencapai visi Indonesia Emas 2045. Namun kata Walhi, sayangnya, generasi muda hanya dimanfaatkan sebagai alat politik untuk mendukung ambisi kelompok elite yang berkuasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hal ini membuat orang muda merasa dikhianati. Sementara itu, masyarakat adat, petani, nelayan, dan keluarga berpenghasilan rendah semakin terpinggirkan oleh krisis iklim dan bencana ekologis," kata Kepala Divisi Keterlibatan Publik Walhi Adam Kurniawan, dalam keterangan tertulis, Kamis, 23 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adam menjelaskan, krisis iklim dan bencana ekologis merupakan isu global yang mendapatkan perhatian besar dari orang muda. Indonesia, sebagai negara kepulauan, adalah salah satu negara paling terdampak oleh perubahan iklim. Namun, keprihatinan generasi muda belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
"Ironisnya, pemerintah justru menerbitkan kebijakan-kebijakan yang mendukung perusahaan yang merusak lingkungan, salah satunya adalah UU Cipta Kerja," kata dia. Saat ini kesadaran orang muda tercurah pada krisis ekologis. Kesadaran ini bertumbuh seiring dengan gerakan pendidikan yang dialektis dan akses informasi terbuka lebar.
Kajian Walhi pada 2020, mengenai persepsi orang muda terhadap kejahatan lingkungan di 7 provinsi, mengungkapkan sebanyak 73 persen generasi muda memiliki perhatian atau sering terlibat dalam penyelamatan lingkungan. Sebanyak 97 persen anak muda menyatakan pernah membantu korban terdampak bencana ekologis seperti kebakaran hutan, banjir dan tanah longsor.
"Inisiatif gerakan ini terus muncul baik dengan mengorganisasikan diri melalui tindakan kolektif maupun secara individual. Perkembangan media sosial semakin memungkinkan gerakan ini terus tumbuh, membangun gerakan solidaritas semakin luas," tutur Adam. Kaum muda menjadi kelompok paling resah dengan kerusakan planet bumi.
Survei People's Climate Vote yang digelar United Nations Development Programme (UNDP) pada Januari 2021 yang dilakukan di 50 negara dengan 1,2 juta responden, mengungkap fakta hampir 70 persen anak di bawah 18 tahun percaya krisis iklim adalah keadaan darurat global.
Sementara berusia 18-35 percaya krisis iklim dan keadaan darurat global mencapai angka 65 persen. Selanjutnya berusia 36-59 sebesar 66 persen, dan 58 persen dari mereka yang berumur di atas 60 tahun. Selanjutnya, 59 persen dari semua kelompok umur menyebut krisis iklim sebagai darurat global dan harus segera melakukan sesuatu yang diperlukan.
"Mengapa anak-anak muda begitu resah dengan krisis iklim? Jawaban paling dominan adalah, pada masa akan datang mereka akan mewarisi bumi yang rusak akibat pembangunan ditentukan oleh generasi yang saat ini memegang kepemimpinan politik, baik di tingkat nasional maupun global," kata Adam.
Dia menjelaskan, pilihan pembangunan dan pengelolaan beragam sumber daya alam oleh generasi saat ini, akan memberikan dampak sangat panjang dan luas bagi generasi masa depan. Daya dukung dan daya tampung planet bumi sangat penting untuk kelangsungan hidup generasi hari ini dan generasi akan datang, yang dinamakan dengan keadilan antargenerasi.
Tingginya perhatian orang muda pada akhirnya terkait langsung dengan keresahan yang dia hadapi. Hal itu kemudian, kata dia, mewujud menjadi tindakan solidaritas terhadap gerakan perjuangan masyarakat sipil dari berbagai bentuk, seperti kampanye, pendampingan terhadap korban, litigasi, literasi kampus, seminar, dan lainnya.
Indonesia, dia menjelaskan, akan mengalami puncak bonus demografi pada 2030. Mengutip United Nations Population Fund, bonus demografi adalah kondisi ketika masyarakat berusia produktif lebih banyak dari masyarakat berusia non-produktif. Atau jumlah masyarakat berusia produktif itu menguasai 70 persen populasi suatu negara.
Pada 27-29 Oktober 2023, menandai peringatan Sumpah Pemuda ke-95, seratus pemuda bersemangat dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul di Pusat Pendidikan WALHI, Caringin, Bogor. Mereka berkumpul untuk menggali semangat perjuangan para pendahulu yang mencetuskan Sumpah Pemuda, sambil mencermati tantangan besar yang dihadapi bangsa hari ini.
Kawula Muda masa kini dengan semangat yang sama, bertekad mengonsolidasikan kekuatan dan bersama-sama menghadapi krisis iklim dan ekologis. Kegiatan ini diberi tajuk “Konsolidasi Nasional Orang Muda Pulihkan Indonesia”. Konsolidasi tersebut menghasilkan butir-butir kesepakatan yang tertuang dalam “Piagam Orang Muda Pulihkan Indonesia”.
"Piagam Orang Muda Pulihkan Indonesia adalah kristalisasi dari komitmen orang muda untuk membalikkan gap antara kebijakan pemerintah yang jauh dari akar persoalan dengan mimpi orang muda," kata dia.
Memastikan piagam tersebut bisa mendapatkan perhatian serius dari para pengambil kebijakan dan calon presiden yang akan bertarung pada pemilihan presiden 2024, orang muda akan Kembali berkumpul pada 25 November dan menggelar Konferensi Orang Muda. Konferensi itu bertajuk "Memimpin Perwujudan Cita-cita Bangsa, Merebut Masa Depan".
Adam mengatakan, agenda tersebut direncanakan dihadiri tiga calon preisden Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. "Pada Konferensi ini tiga calon presiden diundang untuk mendengarkan secara langsung gagasan orang muda mengenai masa depan Indonesia," ucapnya.
Saat itu juga para peserta anak muda tersebut akan menuntut pemerintahan yang terpilih pada Pemilu 2024 menjadikan Piagam Orang Muda pulihkan Indonesia sebagai dasar utama dalam pembentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2025. "Demi mencapai visi Indonesia Pulih 2045," kata dia.