Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bantul, Yogyakarta - Dalam lima tahun terakhir, tercatat sebanyak 144 kasus kekerasan terhadap perempuan difabel terjadi di Yogyakarta. Data dari Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disalibilities (CIQAL) atau Pusat Kegiatan yang Berkualitas dalam Kehidupan Penyandang Disabilitas menunjukkan kasus itu meliputi 102 kekerasan seksual, 36 kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan 6 kekerasan pada anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hanya 14 kasus yang diproses hukum dan pelakunya dijatuhi hukuman," kata Ibnu Sukoco, Direktur CIQAL, dalam acara Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2019 bertema Penghapusan Kekerasan Seksual dan Perlindungan Bagi Perempuan Pembela HAM di Aula Joglo ATEKPI Bantul, Yogyakarta, Jumat, 29 November 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan, menurut Ibnu, umumnya mendapatkan bantuan medis, psikologis, dan ekonomi. Namun tak sedikit yang menutupi kasus itu dengan cara menerima perdamaian dari pelaku.
Menurut Ibnu, kondisi ini disebabkan kurangnya dukungan dan kepedulian masyarakat, pemerintah, dan aparat penegak hukum terhadap kasus-kasus perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan. Termasuk juga minimnya lembaga pemerintah maupun penegak hukum yang aksesibel bagi difabel.
Direktur CIQAL Ibnu Sukoco dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan bertema Penghapusan Kekerasan Seksual dan Perlindungan Bagi Perempuan Pembela HAM di Aula Joglo ATEKPI Bantul, Yogyakarta, Jumat, 29 November 2019. TEMPO| Pito Agustin Rudiana
Tidak sedikit perempuan difabel korban kekerasan yang belum mendapatkan pelayanan dan pendampingan hukum yang adil. "Pelaku berpotensi mengulangi kekerasan lagi dan perempuan difabel menjadi korban berulang kali," kata Ibnu.
Dia menyayangkan penundaan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang semestinya diketok menjelang masa tugas DPR Periode 2014 - 2019 berakhir. Janji anggota dewan untuk mengesahkannya pada awal periode 2019-2024 juga tidak dipenuhi.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dinilai sebagai produk hukum yang secara spesifik mengatur kekerasan seksual. "Kami bersama forum pengadaan layanan sepakat untuk aksi diam. Ini bentuk protes kami karena RUU PKS tak segera disahkan," kata Ibnu.
Forum pengadaan layanan terdiri dari ratusan lembaga yang menginisiasi maupun mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang. Penundaan pengesahan RUU tersebut, menurut Ibnu, berdampak pada kian banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan. "Terutama perempuan difabel. Belum ada produk hukum yang mengakomodir," kata Ibnu.
Kepala Divisi Administrasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DI Yogyakarta, Pagar Butar Butar mengatakan, salah satu solusi untuk meningkatkan kesadaran pentingnya perlindungan hukum bagi perempuan, termasuk wanita difabel adalah dengan melakukan kampanye anti-kekerasan dan perlindungan terhadap perempuan secara berkelanjutan. Setiap lembaga pemerintah, menurut dia, juga berbenah untuk menyediakan layanan yang terakses bagi difabel.
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DI Yogyakarta misalnya, memulai dengan menyediakan Unit Layanan Difabel pada 27 November 2019. Unit ini mencakup layanan keimigrasian, lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan. Bentuk-bentuk layanannya antara lain menyediakan kursi roda, toilet untuk difabel, juga akses ruangan yang mudah dilalui difabel. "Memang belum seratus persen, tapi kami menuju ke sana," kata Pagar.