KALAU ada keluarga yang mempunyai anak 8, itu namanya parasit.
Jadi kalau ada keluarga yang mempunyai anak sampai 12, saya
harus menyediakan 12 bangku sekolah, belum lagi mereka harus
menggunakan bis, belum lagi mereka nanti harus cari pekerjaan,
ujar Ali Sadikin. "lain soal kalau mereka bangun sekolah
sendiri. Sekarang inii yang bangun kan saya". Jakarta yang
memang sudah banyak membagun gedung sekolah itu, setiap tahun
masih juga mengalami kekurangan bangku sekolah. Sehingga
Gubernur yang tampak sewot ketika tampil di layar televisi
akhir Januari yang lalu, merasa perlu untuk menunjuk hidung
biang-biang kesalahan: orang tua yang banyak anak dan arus
urbanisasi pelajar. Beberapa usaha untuk mengatasi kerepotan itu
kini tengah dilaksanakan. Misalnya dengan membangun beberapa
sekolah di kota-kota sekitar Jakarta: Bekasi, Tanggerang, Depok
dan Bogor. Sehingga urbanisasi pelajar diharapkan bisa
dikurangi. Sementara setiap bangunan sekolah di Jakarta akan
dibagi dalam dua gelombang, sehingga satu bangunan bisa
dimanfaatkan untuk dua buah sekolah (sekolah pagi dan sekolah
sore). Idealnya memang pagi saja, bahkan kalau bisa sekolah itu
sekaligus berfungsi juga sebagai Gelanggang Remaja," ujar Ali.
Dcngan memprioritaskan pembangunan SLP (tidak SD lagi, karena
Ali Sadikin menganggap pemerintah sudah memberikan bantuan
Inpres untuk sekolah tingkat itu), Gubernur juga memberikan
bantuan kepada masyarakat yang hendak membangun sekolah:
sebesar Rp 1000 per meter untuk daerah pinggiran, Rp 3000 per
meter untuk daerah padat. Usaha subsidi pembelian tanah itu
dimaksudkan agar mampu menggugah partisipasi masyarakat. Dan
prioritas pembangunan SLP itu, memang bukan tanpa alasan. Selain
menurut Gubernur -- makin banyak SD semakin banyak pula
kebutuhan SLP-nya, "juga agar anak-anak Jakarta minimal
berpendidikan SLP, supaya kemampuannya meningkat", katanya.
Itulah sebabnya, kalau pada Pelita I yang dibangun sebanyak 309
SD dan 95 SLP (sekolah lanjutan), pada Pelita II yang sudah
dibangun sebanyak 187 SD dan 168 SLP ini masih akan ditambah
pada sisa Pelita itu dengan 213 SD dan 432 SLP. Menurut
Gubernur, pemerintah memang sudah saatnya juga untuk
mengeluarkan Inpres buat SL. "Dan DKI mesti kecipratan juga."
ujar Ali. "jangan rasa aneh, DKI sudah bisa membangun lantas
tidak kecipratan".
Tapi yang mengalami peledakan murid-murid sekolah tidak hanya
Jakarta. Di beberapa daerah kecenderungan terhadap keadaan yang
sama, mulai nampak. Itulah sebabnya di hadapan rapat
Kepala-Kepala Bidang (SD, SLP dan SLA) di Cipanas Minggu lalu
Prof Santoso Hamidjojo, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah memasukkan masalah Program Sistim Ganda (seperti yang
akan dilasanakan di Jakarta sekolah pagi dan sekolah sore)
sebagai salah satu masalah yang patut mendapatkan perhatian.
Sebab katanya, kebutuhan bangku sekolah kian lama menunjukkan
kecenderungan bertambah. Misalnya Jawa Barat Di sana angka
murid-murid yang tidak tertampung pada tahun pelajaran ini cukup
mengkhawatirkan. Begitu juga di Sumatera Barat yang selama ini
dianggap daerah termaju dalam masalah pendidikan. Mereka yang
tidak tertampung tercatat: 11.839 tamatan SD yang tak tertampung
di SLP dan 2.908 tamatan SLP yang tidak tertampung di SLA. Belum
lagi umur usia sekolah yang tidak mendapat tempat di SD dan
mereka yang tidak kebagian di perguruan-perguruan tinggi.
Angka murid yang tak tertampung di propinsi Harun Zain itu
memang belum mengejutkan benar. Namun pihak DPRD Komisi E pada
Minggu pertama Januari lalu, buru-buul mengundang Amir Ali,
Kepala Kantor Wilayah P dan K untuk konsultasi. Menurut Amir,
dana yang dibutuhkan segera untuk menanggulangi peledakan
murid-murid sekolah itu diperkirakan sebesar Rp 200 juta. Kota
Padang saja memerlukan penambahan 8 SMP dan sebuah SMA.
Sedangkan pada tahun anggaran 1976/1977 yang sudah bisa
dipastikan ibukota propinsi itu baru akan mendapatkan sebuah SMA
standard dengan biaya Rp l00 juta dan sebuah SMP dengan biaya Rp
70 juta. Sementara tiga buah kota lainnya juga akan mendapat
masing-masing sebuah SMP. Dengan adanya rencana itu, Sumatera
Parat sebenarnya masih mending dari pada daerah-dacrah lain.
Apalagi kebutuhan tenaga guru sebanyak 1044 orang untuk SD,
bukan lagi merupakan persoalan yang merepotkan, karena di sana
kini sudah terdapat sebanyak 400 guru cadangan.
Sebenarnya memang, kalau saja pihak kantor Wilayah atau siapa
saja mau belajar dari pengalaman Jakarta misalnya, soal
peledakan murid sekolah itu itu tak perlu dikuatirkan. Bukankah
cara seperti yang akan dilakukan Jakarta (satu bangunan untuk
dua sekolah) -- dan nampaknya akan dianjurkan untuk semua daerah
itu -- bisa dilaksanakan? Apalagi murid yang tidak tertampung
belum bengkak betul jumlahnya. Namun agaknya, para wakil rakyat
daerah itu sudah keburu bikin -- petisi untuk Menteri P dan K
dan Menteri Dalam Negeri serta sebuah memorandum untuk
pemerintah daerah. "Petisi itu dibuat bukan sekedar karena ada
anak-anak yang tak bisa melanjutkan sekolah, tapi lebih dari
itu, kita tidak mampu menanggulangi sendiri baik dari anggaran
daerah maupun dari kempuan masyarakat", ujar AA Navis angota
DPRD yang bertindak sebagai jurubicara. Kalau petisi yang
ditujukan kepada pemerihtah pusat itu menyangkut penambahan
jumlah SLP/SLA, maka memorandum kepada pemerintah daerah memberi
saran agar ada penyisihan Anggaran Daerah guna mendirikan SLP/
SLA baru Memorandum itu juga minta agar pemerintah daerah
membangkitkan partisipasi masyarakat untuk membantu pembangunan
sekolah-sekolah tersebut yang selama ini memang ada tapi
nampaknya sudah mulai menurun. Alasan membuat petisi dan
memorandum itu, "karena itikad baik dan murni", ujar Djohari
Kahar SH, Ketua Fraksi Karya Pembangunan. Namun tentu saja murni
atau tidak, usaha penanang- gulangan peledakan murid sekolah itu
akan terpulang juga kepada angku-angku di Ranah Minang.
Maklumlah soal duit, bukan cuma Sumbar, Jakarta juga sudah
pusing tujuh keliling.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini