Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Cerita Angga, Cari Pinjaman untuk Sekolah Hingga Lolos LPDP ke Universitas Edinburgh

Angga Fauzan pernah kesulitan untuk melanjutkan sekolah, namun akhirnya bisa lanjut kuliah S2 di Edinburgh University dengan beasiswa LPDP.

12 Desember 2023 | 10.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Angga Fauzan benar-benar merasakan sulitnya mendapatkan akses pendidikan karena tersandung kemampuan ekonomi. Namun, kegigihannya tak luntur meski harus berjuang lebih keras untuk memperoleh pendidikan. Hingga akhirnya dia bisa terus bersekolah dan lanjut kuliah, bahkan sampai magister dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atau LPDP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulanya, Angga sekeluarga tinggal di Ciracas, Jakarta Timur. Ayahnya bekerja menjual ayam goreng menggunakan gerobak di suatu area. "Tapi suatu ketika, area tersebut digusur untuk mau jadi Taman. Akhirnya dari situ kami pindah ke kampung halaman bapak di Boyolali, Jawa Tengah," kata Angga. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kala itu, kakeknya punya sebuah gubuk yang biasa digunakan untuk kandang kambing. Setelah kepindahan Angga sekeluarga ke Boyolali, akhirnya kambing kakek dijual dan gubuknya dibersihkan. Mereka membersihkan dan menata sedemikian rupa gubuk tersebut menjadi tempat tinggal.

"Udah, habis itu kami tinggal di situ, dari saya kelas 4 SD sampai lulus di ITB. Lantainya masih tanah, dindingnya bambu, triplek, yang kalau hujan juga bocor ke mana-mana," kata Angga dalam video Instagram LPDP, dikutip Tempo pada Selasa, 12 Desember 2023.

Angga menceritakan salah satu pengalaman yang tak bisa ia lupakan adalah betapa sulit jalan yang harus dia lalui. Sehabis mengambil ijazah sebagai penanda lulus dari bangku sekolah menengah pertama (SMP), ayahnya langsung mengantarkan Angga ke tempat kursus komputer. Pilihan tersebut diambil agar dia bisa langsung bekerja. 

Namun, kursus komputer yang didaftar ketika itu hanya kursus komputer untuk level dasar. "Bukan kursus yang coding atau apa, (tapi) yang basic. Microsoft word, Microsoft Excel, biar entah mungkin jadi admin di pabrik mana atau toko mana dan sebagainya," kata alumni LPDP PK 124 tersebut.

Keinginan Angga untuk melanjutkan pendidikan sangat kuat. Ia memberanikan diri untuk datang ke sekolah menengah atas (SMA) yang dia incar. Ia pergi tanpa memberi tahu kedua orang tuanya. Angga berangkat dari rumah menggunakan baju main biasa. Begitu sampai di sekolah, ia langsung menggantinya dengan baju seragam. Ketika mendapatkan pengumuman penerimaan, barulah Angga memberitahukan kepada sang ibu dan ayah. 

Akan tetapi, Angga harus membayar uang pangkal sebesar Rp 1,7 juta. "Waktu itu kami enggak tahu uang Rp 1,7 juta itu dari mana. Jadi waktu itu akhirnya karena sudah dapat (diterima), bapak saya mencoba memaksakan diri mencari pinjaman kanan kiri, Alhamdulillah dapat," ujarnya.

Lulus dari SMA, Angga melanjutkan studi ke Institut Teknologi Bandung. Ia memilih jurusan Desain Komunikasi Visual dan mendapatkan gelar akademiknya pada 2016. Setahun berlalu, ia mendaftar di Edinburgh University Inggris dengan beasiswa LPDP. Angga juga pernah ikut kursus dan menyiapkan hingga 150 daftar pertanyaan untuk menghadapi seleksi. 

Sehari sebelum pengumuman, Angga menelepon ibunya. Ia minta sang ibu untuk mengadakan syukuran dan mengundang tetangga satu RT. "Saya bilang 'Insya Allah saya besok diterima.' Walaupun saya enggak tahu. Oleh karena itu, saya kirim uang ke ibu saya minta bikin syukuran satu RT. Ya udah, kirim uang aja dulu. Akhirnya, Alhamdulillah diterima, ya udah dijalanin."

Bantu sesama lewat komunitas dan startup 

Angga merupakan salah satu pendiri Boyolali Bergerak, yakni komunitas sosial dan pendidikan yang hingga kini masih eksis di Boyolali. Fokus kegiatan dari komunitas ini adalah membuat taman pendidikan Al Quran, memberikan bantuan sosial, menyediakan pelatihan serta bimbingan, dan beasiswa. Boyolali Bergerak didirikan pada 2016 ketika Angga menginjak semester akhir di ITB.

"Sekarang kami lagi buka juga program beasiswa dan kakak asuh buat pelajar SMA, SMK yang membutuhkan bantuan kuliah," kata Angga.

Angga juga merupakan Chief Executive Officer sekaligus pendiri MySkill, sebuah startup atau perusahaan rintisan untuk membantu banyak orang mendapatkan skill dan pekerjaan yang diimpikan. Dengan begitu, Angga dan rekannya berharap bahwa penggunanya bisa bantu diri sendiri, keluarga dan orang-orang di sekitarnya.

Angga menyebutnya sebagai domino effect, semacam menciptakan orang-orang yang seberuntung Angga dan co-founder lainnya. "Saya sangat merasakan first hand experience untuk 'oh ternyata gini kalau kita bisa membantu orang dapat skill dan pekerjaan dan pendidikan yang layak.' Itu bisa jadi domino effect," kata dia.

Hingga kini, kata Angga, pengguna MySkill sudah mencapai 1,6 juta di seluruh Indonesia. "Aku membayangkan bahwa ketika 1,6 juta aja bisa membantu 3 atau 4 orang anggota keluarganya, itu sudah kayak mungkin 4 juta 5 juta orang sebenarnya yang terbantu dari domino effect-nya."

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus