Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Demo berakhir ricuh dengan aksi saling dorong dan pukul antara pedagang kaki lima atay PKL Malioboro Kota Yogyakarta dengan petugas pecah pada Sabtu petang, 13 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kericuhan dipicu karena para PKL yang hendak membawa dagangannya ke selasar pedestrian Malioboro yang tengah ramai pengunjung malam itu, dihadang puluhan petugas Satpol PP dengan menutup akses pagar pembatas area lapak pedagang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dimulai dari aksi protes orasi, lalu berlanjut saling dorong hingga saling pukul antara PKL dan petugas yang dibawa Unit Pelaksana Tugas (UPT) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya (PKCB) Kota Yogyakarta. Kericuhan mereda setelah dua pihak dilerai kepolisian.
Aturan Relokasi PKL di sekitar Malioboro
Rentetan bentrok antara PKL Malioboro dengan satuan keamanan setempat bermula dari kebijakan Pemerintah Provinsi Yogyakarta dalam Surat Edaran (SE) Gubernur Nomor 3/SE/1/2022 tentang Penataan Kawasan Khusus Pedestrian di Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulyo dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pencabutan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2010 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima Kawasan Khusus Malioboro – A. Yani.
Kemudian, dilansir dari skripsi berjudul Analisis Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima di Kawasan Malioboro Yogyakarta (2023) disebutkan bahwa SE Gubernur disusul dengan SE Nomor 430/1.31/SE Disbud/2022 tentang Pelaksanaan Penataan Kawasan Khusus Pedestrian Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulyo.
Berdasarkan surat edaran tersebut maka pedagang kaki lima dilarang berjualan di atas trotoar kawasan Malioboro. Dengan adanya larangan tersebut, maka para pedagang kaki lima direlokasi ke eks gedung Bioskop Indra yang sekarang menjadi Teras Malioboro I dan eks kantor Dinas Pariwisata yang sekarang menjadi Teras Malioboro II.
Terkait bentrok dengan Satpol PP pada aksi 13 Juli 2024, awalnya pedagang merasa terpuruk penghasilannya berjualan di Teras Malioboro 2 yang dinilai sepi, semakin cemas jika harus direlokasi ke Beskalan dan Ketandan yang lokasinya lebih jauh dari Jalan Malioboro itu.
Kemudian, pada Jumat 12 Juli, para pedagang membawa dagangannya ke selasar pedestrian yang jelas dilarang sejak 2022. Dagangan mereka langsung laris diserbu wisatawan yang berjalan-jalan di Malioboro.
Melihat respons positif wisatawan, aksi berjualan di selasar pedestrian coba diulangi lagi pada Sabtu, 13 Juli. Namun kali ini aksi protes pedagang ini dihadang petugas yang dibawa Unit Pelaksana Tugas (UPT) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya (PKCB) Kota Yogyakarta. Petugas langsung menutup pagar Teras Malioboro 2 mulai pukul 18.00 sehingga pedagang tak bisa keluar.
Mereka pun menggelar demonstrasi memprotes penutupan pagar itu sembari menyerukan yel yel 'PKL Bersatu, Kembali ke Selasar'. "Kalian ke mana saat pertemuan kemarin? Kami hanya ingin bertemu Pemda DIY, bukan UPT," teriak pedagang saat dihadang pihak UPT PKCB Kota Yogyakarta.
Staf Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Muhammad Raka Ramadhan selaku kuasa hukum Paguyuban PKL Malioboro Tri Dharma menuturkan protes pedagang itu akumulasi kekecewaan terkait rencana relokasi pada 2025. "Sebenarnya aksi protes ini bermula dari pertemuan pedagang dengan Pemerintah dan DPRD DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) pada Jumat 5 Juli lalu," kata Raka ditemui di lokasi saat aksi berlangsung.
Dalam pertemuan itu, kata Raka, sebenarnya sudah disepakati sebuah komitmen politik antara ketiga pihak baik pedagang, DPRD dan pemerintah. Inti komitmen itu soal penundaan relokasi pada 2025 ke Kampung Beskalan dan Ketandan yang sebenarnya masih dalam ruas Jalan Malioboro namun lokasinya lebih masuk lagi ke dalam. Lokasinya tidak seperti Teras Malioboro yang berada persis di pinggir Jalan Malioboro.
Raka menuturkan, dalam rencana relokasi itu, pedagang sama sekali belum dilibatkan. Wacana itu tiba-tiba berembus. Pedagang justru mendapatkan informasi itu dari media sosial sehingga pedagang cemas dan berupaya meminta penjelasan.
Akhirnya, forum pertemuan itu menyepakati, dalam waktu satu pekan atau hingga 12 Juli, sudah ada kejelasan dari Pemerintah dan DPRD DIY soal mekanisme pelibatan pedagang berembug soal relokasi itu. "Tapi hingga satu minggu kemudian (sampai 12 Juli), dari Pemerintah dan DPRD DIY tidak kunjung memberi jawaban signifikan," kata Raka.
LBH Yogyakarta menilai pemerintah daerah seharusnya bersikap bijak dengan datang menemui pedagang. Mencari tahu apa yang jadi persoalan hingga nekat berjualan di selasar. "Namun pedagang justru diperlakukan represif dan dibenturkan dengan aparat keamanan yang berjaga," kata Raka. "Ini peristiwa yang sangat kami sayangkan karena di Malioboro yang katanya potret wisata Yogya namun pemerintah daerah gagal memanajemen konflik."
MICHELLE GABRIELA | PRIBADI WICAKSONO