KEPALA Desa Ayong boleh mendapat acungan jempol. Karena usulnya, ia telah mengirit biaya lebih dari Rp 1 milyar untuk pembangunan jalan Trans-Sulawesi. Sebab, dari ide kepala desa itu, sebuah jembatan kemudian dipindahkan dengan harga lebih murah -- sehingga panjang jalannya pun lebih pendek dari rencana semula. Awal bulan ini, pembangunan jalan itu diresmikan Cosmas Batubara, Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat. "Sekarang, keterpencilan Desa Ayong akan bisa diatasi," kata Ut Ulagus. Desa Ayong di Kecamatan Sam Tombolang, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, itu cukup lama terpisahkan dari dunia luar. Kendati punya jalan daerah, itu pun mentok di Sungai Ayong, yang buas bila datang musim huian. Satu-satunya alat penyeberangan hanya ponton alias rakit termasuk untuk menyeberangkan mobil. Kemudian, atas kesepakatan warga Desa Ayong yang berjumlah 1.476 jiwa, juga setelah mengontak desa tetangganya, Desa Babo, Ut Ulagus menyampaikan usulan kepada, antara lain, Kanwil PU (Pekerjaan Umum) Sulawesi Utara, dan gubernurnya. Usulannya amat meyakinkan. Katanya, kalau proyek Trans-Sulawesi itu tetap menurut rencana -- yakni 0,5 km sebelum mencapai Desa Ayong membelok ke kiri lalu menembus Desa Buntalo, Desa Bumbung, hingga mencapai Desa Balangat -- itu berarti membangun jalan lebih dari 10 km. Tapi, jika jalan itu melewati Desa Ayong, Desa Babo, panjang jalan menjadi hanya 9 km. Keuntungan kedua adalah biaya pembuatan jembatan di atas Sungai Ayong. Jika membangun jembatan di lokasi Desa Bumbung berarti memasang jembatan rangka baja Australia sepanjang 420 m, dengan biaya sekitar Rp 1,3 milyar. Sedangkan membangun jalan melewati Desa Ayong, berarti hanya membangun jembatan sepanjang 120 m, karena sungai lebih sempit, dan biayanya hanya Rp 363.668.806. Kepala Kanwil PU Sul-Ut, Hendro Moeljono, pun mengakui spontanitas masyarakat yang melemparkan ide itu telah meringankan pembiayaan pemerintah. Menurut Soenarto, Kepala Subdit Wilayah II, Direktorat Pelaksana Timur, Ditjen Bina Marga, yang membawahkan wilayah Sulawesi Utara, Tengah, dan Selatan, untuk fondasi jembatan bisa dihemat sekitar Rp 840 juta, dan rangka baja Australia mengirit 378 ton, US$ 756.000. Pemindahan proyek jalan Trans-Sulawesi itu memang tak sepenuhnya mulus. Beberapa penduduk Desa Buntalo, yang tanahnya telanjur terkena pembebasan, kemudian menuntut ganti rugi. "Karena ini usul kami, jadi, risikonya harus kami pikul," tutur Ut Ulagus, lulusan SMA itu. Dananya? Kepala Desa Ayong itu lantas kembali kepada masyarakat yang, ternyata, secara sukarela mengumpulkan dana lebih dari Rp 3 juta untuk ganti rugi tersebut. Tak hanya itu, masyarakat Desa Ayong juga tak keberatan tanahnya terpangkas untuk pelebaran jalan maupun untuk bagian pembangunan jembatan. Hetty Tenamon, 32, yang bersama suaminya sudah membuka kios kecil dan bengkel sepeda dekat jembatan Ayong yang dibangun itu, telah merelakan sebagian tanah miliknya untuk jembatan. "Kami sangat bersyukur, karena jalan sudah terbuka melewati desa kami," ujarnya dengan nada gembira. Yang paling girang, tentu saja, Kepala Desa Ayong. Sejak 1981, ia bersama warganya, secara swadaya, berupaya membangun jalan. Mulai dari jalan setapak, meningkat menjadi jalan desa, dan seterusnya diakui sebagai jalan daerah. Tapi, hal ini belum memecahkan keterpencilan desanya. Buktinya, hasil kerja penduduknya -- yang pada umumnya nelayan, penghasil ikan, dan petani kopra, kedelai, dan padi -- kadang-kadang masih mubazir, karena tak bisa dijual. Dengan jalan Trans-Sulawesi, yang membelah Desa Ayong, diharapkan perekonomian masyarakat di sana mampu terangkat. Kemungkinan memanfaatkan jalur TransSulawesi yang 700 km memanjang dari Kota Bitung, Sul-Ut, ke Molosipat, perbatasan Sul-Ut dan Sul-Teng, kini terbuka lebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini