Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Koentjoro Soeparno mendapat teror melalui pesan WhatsApp (WA) ke nomor pribadinya, pada Sabtu, 16 Maret 2024. Teror itu datang setelah ia terlibat aksi “Kampus Menggugat: Tegakkan Etika & Konstitusi, Perkuat Demokrasi” pada Selasa, 12 Maret 2024 yang digelar di Balairung UGM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dia mengatakan saya sudah tua. Curang-curang, saya dibilang pembela 03, mau cari jabatan, dan jenggot saya sudah putih tua,” kata Koentjoro, kepada Tempo.co, menirukan isi pesan itu, pada Selasa, 19 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isi pesan itu berbunyi, “Pemilu curang, pemilu curang. Mbah mu u u u. Koe arep mbelo koncomu 03 to, oalah pak tue pak tue… Aku wong jateng ae ora srek kok karo Ganjar. Kok koe mbelo mbelo ngomong pemilu curang, arep jatah jabatan to nek menang…isin karo jenggotmu kui lo..,” tulis pesan yang dikirim pukul 06.45 WIB itu.
"Maturnuwun, namun saya lebih menghargai panjenengan kalau jantan. Jangan memalsukan diri dengan KPK," katanya.
Diketahui seseorang yang mengirim pesan itu sebelumnya menggunakan foto profil logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawahnya bertuliskan yang bertuliskan Pelayanan dan Pengaduan Masyarakat KPK. Menurut Koentjoro, selepas membalas, foto profil orang itu kemudian dihapus dan menuliskan, “Sopo sing ngaku KPK kok.”
Koentjoro kemudian mencoba melacak pengirim pesan tak dikenal itu dengan meminta bantuan temannya. Pengirim pesan pun teridentifikasi sebagai seorang penipu. “Lokasinya di Batam,” ucap Koentjoro.
Tadi pagi, Koentjoro pun dikirimi pesan oleh temannya dari Polda DIY. Pesan itu menawarkan untuk mengusut teror yang ia alami. Namun, Koentjoro menolak untuk melaporkan peristiwa teror yang ia alami. “Saya sampaikan pada dia bahwa ga perlu,” ujarnya.
Teror yang Koentjoro alami, tak membuat dirinya gentar sedikitpun. “Saya tidak pernah takut kok. Di antara yang mem-bully dan mendukung, itu lebih banyak yang mendukung kok,” ujarnya.
Rupanya, peristiwa teror ini pernah Koentjoro alami sebelumnya. “Teror itu saya alami sebelum coblosan (pemungutan suara) dan pasca-coblosan (Pemilu 2024),” katanya. Sebelum proses pemungutan suara, pada Rabu, 14 Februari 2024, Koentjoro juga terlibat membacakan Petisi Bulaksumur.
Petisi Bulaksumur sendiri dilaksanakan pada Rabu, 31 Januari 2024. Saat itu, sivitas akademika UGM yang terdiri dari beberapa guru besar, dosen, dan mahasiswa berkumpul di Balairung UGM. Mereka mengingatkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang dinilai sudah keluar jalur.
Setelah membacakan Petisi Bulaksumur, Koentjoro berulang kali diserang oleh buzzer melalui di akun Instagram pribadinya. “Kalau yang dari Instagram lebih canggih, itu lebih sistematis. Karena kemudian ketika ada apa, mereka langsung nimbrung banyak. Kemudian saya katakan kalau ini buzzer mesti,” jelasnya.
Tak hanya diserang buzzer di media sosial, Koentjoro pun sempat dicari oleh orang tak dikenal yang datang ke Fakultas Psikologi UGM. Orang tak dikenal itu pun ditemui Juni Prianto, anggota Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) Fakultas Psikologi yang tengah bertugas hari itu.
Menurut pengakuan Juni, pagi sekitar pukul 10.00 WIB, seseorang tak dikenal itu duduk di dekat kanopi sambil mengaji dengan keras. Karena dianggap mengganggu proses perkuliahan, Juni menghampiri orang itu. Orang tak dikenal itu pun menyampaikan niatnya untuk bertemu dengan Koentjoro.
“Kalau saya gak turun gunung dan ketemu Pak Koen, ya negara ini rusak,” kata Juni kepada Tempo, menirukan ucapan orang tak dikenal itu, pada Selasa, 19 Maret 2024.
Kalau menurut SOP kami, kata Juni, ketemu dengan dosen atau pejabat itu harus konfirmasi dulu. “Waktu itu bapaknya ngaku dari Kalimantan. Dia naik bentor, orangnya tinggi tapi badannya tidak begitu besar. Ia pakai setelan rapi,” katanya.
Setelah itu, menurut Koentjoro belum ada lagi orang yang mencari atau mendatanginya lagi. Ia pun tak terlalu ambil pusing dengan peristiwa-peristiwa teror yang ia alami. “Kalau rencana selanjutnya, saya wait and see. Saya hanya tak mau kegiatan ini berubah menjadi partisan,” ujar Koentjoro.
Koentjoro menjelaskan bahwa dirinya hanya ingin menyuarakan suara kampus. Ia pun masih merasa bahwa Jokowi tetap alumni UGM yang berarti masih satu keluarga dengan dirinya. “Saya masih sekandung di universitas ini dengan Pak Jokowi. Saya ingin dia tetap landing smoothly di akhir masa jabatannya,” kata dia.
Ia pun menyampaikan bahwa dirinya tidak memiliki keinginan apa-apa. “Seorang guru besar adalah pemikir bangsa, guru besar adalah penjaga etika,” kata Koentjoro.