Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ramai soal revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI yang ditakutkan membuka kembali celah dwifungsi ABRI di Indonesia, sebab, saat ini TNI makin masuk ke ranah sipil. Upaya reformasi ABRI/TNI sebelumnya telah menempuh jalan panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk diketahui, dwifungsi ABRI merupakan sebuah konsep dan kebijakan politik yang mengatur fungsi ABRI dalam tatanan kehidupan bernegara. Dwifungsi ini berarti, selain menjalankan perannya sebagai kekuatan pertahanan di Indonesia, ABRI juga menjalankan tugas sebagai pengatur negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
D.W Firdaus dalam jurnalnya Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di Bidang Sosial Politik tahun 1966-1998 (2016), gagasan mengenai Dwifungsi ABRI sudah ada sejak awal pemerintahan Orde Baru yang digagas AH Nasution dan disebut dengan konsep jalan tengah.
Penyimpangan Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI dilegalkan oleh Suharto pada 1982 melalui Undang-undang nomor 20 tahun 1982. Melalui gagasan tersebut ABRI berhasil melakukan dominasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif pada pemerintahan Orde Baru. Sejak era 1970-an, sudah banyak perwira aktif ABRI yang menduduki kursi di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi. Hal ini tentunya berpengaruh pada kondisi sosial dan kehidupan politik di Indonesia.
Selain itu, dalam pelaksanaan dwifungsi ABRI, penyimpangan oleh oknum militer maupun Suharto sendiri. Bahkan, militer juga dijadikan sebagai alat kekuasaan rezim untuk melakukan pembenaran terhadap kebijakan pemerintah pada masa itu yang merugikan masyarakat Indonesia.
Penghapusan Dwifungsi ABRI
Pelarangan adanya peran ganda militer ini didasari oleh reformasi 1998 yang melihat bahwa pengejahwantahan peran ganda atau pada rezim Orde Baru merugikan rakyat Indonesia. Peran-peran strategis TNI dalam jabatan sipil akhirnya dihapuskan di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur untuk mengatasi konflik-konflik yang muncul dari dwifungsi ini.
Berawal dari seminar Angkatan Darat pada 22-24 September 1998 bertema Peran ABRI di Abad XXI. Dalam seminar itu, dihasilkan pemikiran untuk melakukan reformasi TNI. Kalangan pimpinan TNI pada saat itu memiliki determinasi supaya TNI kembali menjadi tentara profesional sebagai lembaga pertahanan negara.
Sehingga Menteri Pertahanan dan Keamanan kala itu, Jenderal Wiranto, dibantu oleh Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, serta pimpinan TNI lain merasa perlu mengurangi peran TNI dalam politik. Mereka pun secara bertahap menarik diri dari kegiatan politik dan pemerintahan.
Semangat ini berlanjut dalam kepemimpinan presiden Gus Dur. Puncaknya adalah ketika Gus Dur melakukan reformasi dalam tubuh TNI. Pada masa kepemimpinan singkatnya (1999-2001), ia memisahkan Polisi Republik Indonesia (Polri) dengan TNI.
Sebelumnya upaya pemisahan ini sudah dilakukan sejak bergulirnya reformasi 1998, ketika pemerintahan Orde Baru jatuh dan digantikan dengan pemerintahan reformasi di bawah Presiden B.J. Habibie. Salah satu tuntutan besar masyarakat saat itu adalah pemisahan Polri dan ABRI, dengan harapan agar Polri menjadi lembaga yang profesional, mandiri, dan bebas dari intervensi dalam penegakan hukum.
Presiden Habibie kemudian meresponsnya dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 yang menyatakan pemisahan Polri dan ABRI.
Lebih lanjut, selain memisahkan Polri dan TNI, Gus Dur juga mencabut dwifungsi ABRI sehingga mengakibatkan TNI harus melepaskan peran sosial-politiknya. Sejak saat itu, militer aktif tak lagi bisa berpartisipasi dalam politik partisan maupun menempati jabatan sipil.
Gus Dur juga berupaya memberikan ruang seluas-luasnya bagi kelompok sipil untuk memberikan sumbangsih dalam pembinaan pertahanan negara. Hal ini terlihat dari penghapusan fraksi TNI-Polri dari parlemen.
Selain itu juga terlihat dari penunjukan Menteri Pertahanan (Menhan) kepada orang sipil. Sebagai informasi, semenjak 1959 jabatan Menhan selalu diisi oleh orang militer. Beberapa hal ini adalah langkah kongkret upaya penghapusan dwifungsi ABRI pada era Gus Dur.
Gerin Rio Pranata dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.