Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kiara berpendapat Peraturan Menteri Kelautan Nomor 12 Tahun 2020 yang dijadikan argumen hakim dalam meringankan hukuman justru bertolak belakang dengan fakta-fakta kasus korupsi Edhy.
Korupsi kebijakan termasuk yang paling mengerikan karena pejabat seolah-olah bisa melegalkan perilaku koruptifnya.
Fakta di lapangan, nelayan dan perempuan nelayan pembudi daya lobster justru hanya menjadi alat untuk melengkapi persyaratan administrasi eksportir benur.
JAKARTA – Pertimbangan tiga hakim Mahkamah Agung yang memangkas masa hukuman Edhy Prabowo dari 9 menjadi 5 tahun penjara menuai sorotan. Pertimbangan hakim kasasi memangkas hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu dalam kasus korupsi izin ekspor benur adalah Edhy mengizinkan ekspor benih lobster yang bertujuan menyejahterakan nelayan kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, menepis pertimbangan hakim tersebut. Susan berpendapat, Peraturan Menteri Kelautan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Benih Lobster, Kepiting, dan Rajungan, yang dijadikan argumen hakim dalam meringankan hukuman, justru bertolak belakang dengan fakta-fakta kasus korupsi Edhy. Bahkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi lalu dihukum bersalah karena menerima suap terkait dengan implementasi peraturan menteri tersebut, yang isinya mencabut larangan ekspor benur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jika Edhy Prabowo bekerja dengan baik, mengapa beliau ditangkap KPK dengan kasus korupsi penerimaan suap?” kata Susan, Kamis, 10 Maret 2022. “Faktanya, Edhy pelaku korupsi penerimaan suap dan nihil prestasi selama menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan.”
Senin lalu, vonis kasasi Mahkamah Agung memutuskan untuk mengurangi masa hukuman Edhy Prabowo sebanyak empat tahun penjara. Ketiga hakim kasasi itu adalah Sofyan Sitompul (ketua), Gazalba Saleh (anggota), dan Sinintha Yuliansih Sibarani (anggota). Sofyan dan Gazalba memutuskan memotong masa hukuman Edhy karena ia dianggap berjasa kepada nelayan dengan mengizinkan ekspor benur. Sedangkan Sinintha berbeda pendapat atau memberikan dissenting opinion.
Barang bukti uang sitaan hasil korupsi untuk diserahkan kepada penyidik KPK, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 15 Maret 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Pendapat hakim kasasi itu berbanding terbalik dengan fakta persidangan kasus suap Edhy dalam urusan izin ekspor benur. Peraturan Menteri Kelautan Nomor 12 Tahun 2020 menjadi pemicu awal terjadinya suap kepada Edhy. Sebab, setelah larangan ekspor benih lobster dicabut, Edhy menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan Nomor 53/Kepmen-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas atau Due Diligence Perizinan Usaha Perikanan Budi Daya Lobster. Dua staf khusus Edhy, Andreau Pribadi dan Safri, ditunjuk menjadi ketua dan wakil ketua tim uji tuntas, yang bertugas memeriksa kelengkapan administrasi dokumen calon eksportir benur.
Dalam praktiknya, Kementerian Kelautan dan Perikanan mensyaratkan ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan lewat forwarder atau ekspedisi muatan yang ditunjuk kementerian, yaitu PT Aeri Citra Kargo (PT ACK). Perusahaan ini—yang dianggap nomine Edhy—menjadi perantara aliran suap dari eksportir kepada Edhy melalui sejumlah orang dekatnya.
Pada November 2020, salah satu nomine Edhy di PT ACK mentransfer uang sebesar Rp 3,4 miliar kepada Ainul Faqih, staf pribadi istri Edhy—Iis Rosita Dewi. Edhy dan istrinya lantas menggunakan uang itu untuk berbelanja sejumlah barang mewah saat berada di Honolulu, Amerika Serikat. Penerimaan itulah yang membuat Edhy ditangkap KPK pada 24 November 2020.
Sesuai dengan putusan pengadilan, Edhy terbukti menerima suap sebesar Rp 25,7 miliar terkait dengan pengurusan izin ekspor benih lobster. Uang itu diperoleh melalui Andreau Misanta Pribadi dan Safri, keduanya staf khusus Edhy; Amiril Mukminin, sekretaris pribadi Edhy; Ainul Faqih; serta Siswadhi Pranoto Loe, pemilik PT Aero Cipta Kargo.
Selama persidangan, Edhy berulang kali membantah bersalah dan terlibat dalam kasus suap ini. Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu berdalih bahwa ia hanya lalai karena tidak mampu mengontrol staf-stafnya. “Saya merasa tidak bersalah dan saya tidak punya wewenang terhadap itu,” kata Edhy, tahun lalu.
Menurut Susan Herawati, sejak awal Peraturan Menteri Kelautan Nomor 12 Tahun 2020 itu dinilai hanya menguntungkan eksportir benur dan pihak Edhy. Karena itu, Kiara dan nelayan tradisional berunjuk rasa serta mendesak Edhy mencabut peraturan tersebut pada Juli 2020.
Kiara menemukan fakta di lapangan bahwa nelayan dan perempuan nelayan pembudi daya lobster justru hanya menjadi alat untuk melengkapi persyaratan administrasi eksportir benur. Selanjutnya, pengusaha membeli lobster ukuran konsumsi, lalu dipindahkan ke keramba jaring apung miliknya. Lobster berukuran besar itulah yang lantas diklaim sebagai hasil budi daya perusahaan.
“Perusahaan membeli lobster berukuran di atas 50 gram dari pembudi daya untuk dilepasliarkan di alam dan diklaim sebagai keberhasilan panen,” kata Susan.
Selain itu, kata Susan, peningkatan volume ekspor benih lobster tidak memberikan keuntungan signifikan bagi negara dan nelayan pembudi daya lobster tradisional yang bersifat jangka panjang.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuris Rezha Kurniawan, mengatakan putusan majelis hakim itu terkesan menoleransi adanya korupsi kebijakan. Sebab, hakim menganggap kebijakan Edhy Prabowo itu berkinerja baik. Padahal kebijakan itulah yang jadi penyebab terjadinya penyuapan. “Korupsi kebijakan ini termasuk yang paling mengerikan karena pejabat seolah-olah bisa melegalkan perilaku koruptifnya,” kata Yuris.
EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo