Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mengklaim mengundang UNESCO untuk mengevaluasi pengembangan pengelolaan komodo.
Klaim pemerintah atas rencana pengelolaan proyek pengembangan wisata di Taman Nasional Komodo dan Flores dinilai bermasalah.
Habitat komodo di luar kawasan hutan kian terancam.
JAKARTA – Kabar ini sampai ke Bidong: tim Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) akan meninjau pembangunan infrastruktur wisata di Taman Nasional Komodo. Mereka hendak meneliti dampak proyek besutan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tersebut terhadap habitat komodo (Varanus komodoensis) sebagai warisan dunia, juga efeknya bagi warga lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria berusia 43 tahun warga Kampung Komodo, yang masuk kawasan taman nasional di Nusa Tenggara Timur, itu bersiap menjamu kedatangan tim UNESCO. Bidong hendak mengutarakan penolakan proyek tersebut seperti yang selama ini disuarakan dia dan teman-temannya. Namun tamu yang ia nantikan tak kunjung datang. Dia malah mendapat kabar bahwa tim telah meninggalkan lokasi pada Ahad lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehari sebelumnya, Bidong melihat dua perahu cepat wira-wiri di perairan kampungnya, tepat di sekitar Resor Loh Liang—salah satu lokasi proyek. Speed boat itu berisi belasan orang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK), UNESCO, dan International Union for Conservation of Nature (IUCN). "Mereka hanya berputar-putar dan tidak turun. Padahal kami sudah siap-siap menyambut," kata dia ketika dihubungi Tempo, kemarin.
Wisatawan di Pulau Rinca, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Dok TEMPO/Frannoto
Kesaksian Bidong itu berlawanan dengan keterangan Balai Taman Nasional Komodo. Lukita Awang, Kepala Balai, menyebutkan tim UNESCO dan IUCN datang ke permukiman Kampung Komodo untuk melakukan observasi dan berdialog dengan perwakilan masyarakat. "Itu sangatlah penting," kata Lukita.
Bidong memastikan bahwa tim UNESCO dan IUCN tidak berkunjung ataupun meminta keterangan dari warga yang terkena dampak rencana pengembangan Taman Nasional Komodo. Padahal, dia melanjutkan, warga sangat menantikan kunjungan UNESCO dan IUCN, mengingat Kampung Komodo menjadi sorotan organisasi dunia tersebut.
Tahun lalu, UNESCO menggelar sidang di Prancis dan menuntut pemerintah Indonesia menuntaskan sejumlah persoalan perihal proyek di Taman Nasional Komodo. Badan PBB itu perlu menjamin bahwa proyek pembangunan tersebut tak mengganggu nilai-nilai universal luar biasa atau outstanding universal value (OUV) komodo sebagai warisan dunia. Mereka lalu melansir delapan poin tuntutan yang dikirim kepada Indonesia.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Pramuwisata Manggarai Barat, Sebastian Pandang, mengatakan tim UNESCO dan IUCN memang mengunjungi kampung mereka. Namun tim itu hanya mengevaluasi pengelolaan oleh pemerintah untuk menjamin keberlanjutan konservasi komodo. "Padahal kami menyampaikan poin yang mempertanyakan sejauh mana keterlibatan UNESCO dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan Integrated Tourism Master Plan (ITMP)," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Rencana induk yang dimaksudkan Sebastian itu merupakan program pemerintah untuk merombak pengelolaan wisata di Taman Nasional Komodo dan Labuan Bajo. Pemerintah bermaksud mengintegrasikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Golo Mori dengan berbagai rencana pengembangan wisata di Pulau Flores dan Taman Nasional Komodo, termasuk mengusung agenda wisata premium yang dinilai dapat menyingkirkan ruang hidup masyarakat lokal.
Pada pertemuan Sabtu pekan lalu itu, Sebastian juga mempertanyakan rencana pemerintah untuk memberlakukan tarif senilai Rp 14 juta per orang untuk berwisata di Taman Nasional Komodo. Menurut dia, praktik itu dapat mematikan sumber penghidupan masyarakat lokal yang bergantung pada pariwisata. Apalagi kini sudah muncul korporasi-korporasi yang mengoperasikan kapal pesiar, jasa pemandu wisata, hingga agen travel. Bidang-bidang usaha itu selama ini dikelola secara komunal oleh warga setempat.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno, menyatakan kedatangan UNESCO dan IUCN ke Indonesia atas undangan pemerintah melalui Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO. Selain ke Taman Nasional Komodo, tim Reactive Monitoring Mission itu mengunjungi Taman Nasional Lorentz di Papua, yang juga merupakan situs warisan dunia.
Peneliti dari Center for Southeast Asian Studies di Kyoto University, Jepang, Cypri Jehan Paju Dale, menepis klaim tersebut. Menurut dia, seperti namanya, tim Reactive Monitoring Mission hadir sebagai reaksi atas keterancaman komodo atau kemungkinan penghapusan komodo sebagai warisan dunia. "Buktinya, hasil sidang UNESCO pada 4 Juni 2021 yang mendesak pemerintah agar mengizinkan UNESCO masuk ke Indonesia," kata dia.
Kedatangan tim UNESCO juga didasari memburuknya status konservasi IUCN komodo, dari rentan menjadi terancam punah, per September lalu. Komodo, yang pada masa prasejarah menghuni daratan dari Jawa Timur hingga belahan utara Australia, kini hanya bisa bertahan di Taman Nasional Komodo. Ruang yang terbatas itu pun kini semakin tergerus oleh kehadiran perusahaan-perusahaan pemegang konsesi pariwisata lewat proyek pemerintah yang dijuluki Jurrasic Park tersebut.
Tanpa ada proyek itu pun, komodo terancam punah. Ahli zoologi Djoko T. Iskandar menyatakan, dengan keanekaragaman genetik rendah serta ketimpangan jenis kelamin—dengan rasio tiga jantan per satu betina—beban reproduksi kadal raksasa itu sangat berat. Apalagi usia komodo betina tidak sepanjang umur jantan, yang rata-rata hidup hingga 30 tahun. Iskandar mengutip penelitian yang menyatakan bahwa volume telur komodo turun dari tahun ke tahun.
Guru besar bidang sistematika, ekologi, dan evolusi vertebrata kecil di Institut Teknologi Bandung ini mendorong pemerintah mencampurkan variasi genetik komodo asal Pulau Rinca dan Flores serta Pulau Komodo guna meningkatkan angka reproduksi. "Tanpa intervensi berteknologi tinggi, komodo pasti punah," kata Iskandar tanpa mengaitkannya dengan pemeriksaan tim UNESCO. "Masalahnya, apakah orang peka terhadap informasi yang sudah terpublikasi ini."
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo