Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hasil rekapitulasi penghitungan suara nasional untuk Pemilu 2024, termasuk pemilihan presiden (Pilpres), legislatif, dan dewan perwakilan daerah, telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 20 Maret 2024. Dalam pengumuman tersebut oleh Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari, PDIP diumumkan sebagai pemenangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PDIP berhasil meraih 25.387.279 suara, diikuti oleh Golkar dengan 23.208.654 suara, dan Gerindra dengan 20.071.708 suara. Jumlah total suara sah secara nasional untuk Pileg 2024 adalah 151.796.631.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPU memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang tidak setuju atau ingin mengajukan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sesuai prosedur, KPU memberikan waktu 3x24 jam setelah pengumuman hasil rekapitulasi. Jika tidak ada gugatan ke MK, maka pada tanggal 23 Maret 2024, KPU akan menetapkan hasil Pileg.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merespons keputusan KPU dengan rencana mengajukan gugatan ke MK karena PPP tidak berhasil lolos ke Senayan. PPP tidak mencapai ambang batas parlemen sebesar 4 persen dengan hanya memperoleh 5.878.777 suara atau 3,87 persen.
Muhammad Romahurmuziy, Ketua Majelis Pertimbangan PPP, mengklaim bahwa suara partainya tergerus di beberapa daerah pemilihan setelah hari pencoblosan pada 14 Februari. Dia mengatakan bahwa berdasarkan data internal partai, suara PPP sebenarnya melampaui 4 persen.
Selain PPP, Partai Perindo juga menyatakan akan mengajukan gugatan ke MK sebagai respons terhadap hasil rekapitulasi nasional Pemilu 2024. Sekretaris Jenderal DPP Perindo, Ahmad Rofiq, menyatakan bahwa MK adalah satu-satunya cara untuk membuktikan kecurangan dalam pemilu. Dia juga menolak hasil pleno rekapitulasi KPU RI.
MK sebelumnya telah menangani 260 perkara perselisihan suara DPR, DPRD, dan DPD pada Pileg 2019. Dari 260 perkara tersebut, hanya 12 yang dikabulkan oleh MK. Sidang terakhir untuk pembacaan putusan seluruh perkara sengketa hasil Pileg 2019 digelar pada Jumat, 9 Agustus 2019.
Sementara itu, putusan mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau Sengketa Pilpres 2024 dibacakan MK pada Senin, 22 April 2024. PHPU pernah terjadi pada 2014 dan 2019.
Pada Pilpres 2014 kala itu diikuti oleh pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta), dan pasangan nomor urut 02, Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokow-JK).
Hasil dari Pemilihan Presiden yang diselenggarakan pada 9 Juli 2014 menunjukkan bahwa Jokowi-JK berhasil meraih kemenangan dengan persentase 53,15 persen, sedangkan Prabowo-Hatta kalah dengan perolehan suara sebesar 46,85 persen.
Tidak menerima hasil tersebut, pasangan Prabowo-Hatta kemudian mengajukan beberapa gugatan baik ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) maupun Mahkamah Konstitusi (MK). Berbagai masalah yang diangkat termasuk isu seputar Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) yang dianggap berjumlah sangat besar, dugaan bahwa KPU tidak mengikuti rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), permasalahan terkait sistem noken di Papua, serta tuduhan pengalihan suara dari pasangan nomor urut 1 ke pasangan nomor urut 2.
Selain itu, ada juga perdebatan tentang data perolehan suara 0 persen, ketidakperhatian terhadap Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) sebagai dasar Daftar Pemilih Tetap (DPT), dugaan pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif (TSM), serta tindakan KPU membuka kotak suara dalam rangka mengumpulkan bukti untuk persidangan di MK.
Sidang putusan atas semua gugatan ini diadakan pada Kamis, 21 Agustus 2014. Ketua MK, Hamdan Zoelva, mengungkapkan bahwa putusan hakim konstitusi terdiri dari 4.390 halaman, tetapi hanya 400 halaman yang dibacakan secara langsung. Sidang tersebut berlangsung dari pukul 14.30 WIB hingga pukul 21.50 WIB dan memutuskan untuk menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh Prabowo-Hatta.
PHPU juga terjadi pada Pilpres 2019. Kala itu Pilpres diikuti oleh Prabowo dan Jokowi. Jokowi – Ma’ruf Amin saat itu menang dengan 55,50 persen, sementara Prabowo-Sandi 44,50 persen.
Prabowo tak menerima hasil Pemilihan Presiden 2019. Prabowo-Sandi kemudian mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan KPU sebagai pihak yang dimohonkan. Sidang untuk kasus ini dimulai pada Jumat, 14 Juni 2019, dan berlangsung selama 14 hari kerja. Mereka menuduh adanya kecurangan yang dianggap terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam pelaksanaan Pemilihan Presiden 2019.
Sidang untuk menentukan putusan atas sengketa Pilpres 2019 diadakan pada Kamis, 27 Juni 2019. MK pada saat itu menyatakan menolak seluruh permohonan gugatan PHPU 2019 yang diajukan oleh Prabowo-Sandi. Keputusan itu tertulis dalam putusan Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019.