Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Mahasiswa Papua memrotes pembubaran pemutaran film dan diskusi memperingati proklamasi West Papua ke 42, Ahad malam, 1 Juli 2018. Diskusi dan pemutaran film diselenggarakan di rumah kontrakan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua Jalan Lowokwaru, Malang. Aksi pembubaran juga menimbulkan bentrok antar massa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami diseret dipukul dan diusir," kata Juru bicara aliansi, Yohanes Giyai. Pemutaran film sejarah Papua, katanya, dihadiri 55 mahasiswa Papua. Pembubaran itu dianggap menghambat kebebasan berekspresi dan berpendapat. Apalagi aktivitas tersebut dilakukan di dalam rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini bagian dari pengembangan intelektual dan panggung akademik," ujar Giyai. Ia menuding diskusi dan putar film itu dibubarkan karena campur tangan militer dan polisi. Mereka memprovokasi warga hingga sempat terjadi bentrokan dan pemukulan. Tujuh orang mengalami luka lebam, dan berdarah karena pukulan.
Pelaku, katanya, bukan warga setempat. Ia mengaku selama sembilan tahun tinggal dan tak ada gesekan dengan warga. Lokasi bentrokan sekitar 35 meter dari Kepolisian Sektor Lowokwaru, Malang. Mereka juga menuntut 10 komputer jinjing dan empat telepon seluler milik mahasiswa asal Papua itu dikembalikan. "Perselisihan soal pemondokan itu pengalihan isu saja," ujarnya.
Kepala Kepolisian Resor Malang Ajun Komisaris Besar Asfuri mengundang mahasiswa Papua dan warga setempat untuk mediasi pada Senin 2 Juli 2018. Mediasi juga dihadiri Komandan Kodim 0833 Letnan Kolonel Nurul Yakin dan Pelaksana Tugas Wali Kota Malang Sutiaji. "Tak ada personil polisi yang mengusir. Kami datang untuk mengamankan agar tak ada kerusuhan," ujarnya.
Sedangkan komputer jinjing dan telepon seluler milik mahasiswa asal Papua tersebut disita oleh Ketua RT setempat. Semua barang, katanya, tak ada dalam penguasaan polisi. "Semua disimpan Ketua RT, silahkan diambil," ujarnya.
Ketua RT 3 RW 4, Didit Widianto mengaku telah berkoordinasi dengan penghuni kontrakan agar tak memutar film di rumah kontrakan. Namun, tak membuahkan hasil. "Kita tak mengusir, tapi batas waktu kontrak rumah habis 20 Juni lalu," ujarnya.
Selain itu, dia menuding mahasiswa yang tinggal di sana sering mabuk-mabukan. Serta menimbulkan keresahan karena melepaskan anjing dan meludah sembarangan.