Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Nadiem Optimistis Kebijakan Merdeka Belajar Berlanjut Siapa pun Menteri dan Presidennya

Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim optimis akan keberlanjutan transformasi pendidikan, meskipun menteri atau presiden telah berganti.

7 Desember 2023 | 05.58 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mendikbudristek Nadiem Makarim saat mengunjungi SMKN 2 Kasiaha, Yogyakarta. Dok, Kemendikbud

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim optimistis program transformasi pendidikannya tetap berlanjut meskipun menteri atau presiden berganti. "Kalau saya melihat video-video seperti itu, saya merasa jauh lebih pede. Jauh lebih optimis bahwa mau menterinya siapa, mau presidennya siapa, gerakan ini akan terus berjalan," ucap Nadiem di Jakarta dalam acara bertajuk Perilisan Laporan Kajian Dampak Platform Teknologi Kemendikbudristek pada Rabu, 6 Desember 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nadiem mengucapkan hal tersebut setelah melihat antusiasme guru-guru yang merasakan transformasi pendidikan dari program yang telah dibesutnya. Berbagai transformasi pendidikan telah dibuat Nadiem di antaranya platform Merdeka Mengajar, Rapor Pendidikan, ARKAS serta SIPLah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lewat tayangan video, sejumlah guru di daerah-daerah mengutarakan dampak positif dari penggunaan teknologi tersebut.  Lia Peni Susilowati guru Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Saradan, Madiun misalnya, dia mengatakan metodenya dalam mengajar selama ini sangat kaku, terpaku pada rencana pelaksanaan pembelajaran atau RPP. "Saya pertama kali itu mengajar kayak robot, masih didikte dengan adanya RPP. Ada aturan yang kelihatannya tuh mengikat saya," ujarnya.

Setelah mengadopsi transformasi pendidikan lewat platform Merdeka Mengajar dan mengikuti beragam pelatihan gratis di platform tersenbut, Lia mulai menemukan solusi. Ia memilih untuk menerapkan pembelajaran berdiferensiasi di kelasnya. Pendekatan ini memungkinkan guru untuk merancang pengalaman belajar yang relevan, menantang, dan bermakna bagi setiap siswa.

Sama seperti Lia, Herta Sianturi juga menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dalam mengajar. Ia mengatakan, penyampaian materi pembelajaran sebelumnnya masih monoton kepada siswa. Begitu pula dengan sistem ujian, jika anak tak mampu mencapai nilai bagus maka tinggal kelas. "Kalau enggak mampu, ya tinggal kelas. Jadi, dulu itu termasuk pembodohan," ujarnya.

Setelah mengadopsi pembelajaran dari Merdeka Mengajar, ia menemukan sudut pandang baru.   "Kebetulan ada anak (murid) saya yang bisa menulis, meniru, mau berbuat, cuma dia kurang mampu mengutarakan. Seandainya ada pembelajaran berdiferensiasi pada saat itu, ini anak bisa lanjut. Masa depannya bukan guru yang menentukan, guru hanya menuntun," kata Herta yang juga menjabat sebagai Kepala Sekolah Dasar Negeri 173186 Lumban Baringin, Tapanuli, Sumatera Utara.

Nadiem menyatakan, Merdeka Belajar bukan lagi milik kementerian, melainkan sudah seperti milik guru. Hal ini karena, kata dia, Merdeka Belajar telah benar-benar menyasar para guru dan menjadi jawaban atas kendala pengembangan kualitas pengajaran guru selama ini.

Guru dapat mengakses beragam pelatihan secara gratis dan bisa diakses tanpa butuh sambungan internet. Hingga kini, jumlah peserta topik pelatihan mandiri di platforma Merdek Belajar mencapai 4,1 juta guru. Angka ini meningkat tujuh kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah peserta pelatihan tatap muka pada 2019. 

Berdasarkan hasil kajian lembaga Oliver Wyman, lebih dari 40 persen guru di daerah tertinggal, terdepan dan terluar aktif mengakses pelatihan melalui PMM. Sebanyak 650 ribu guru dan kepala sekolah telah bergabung dalam 45 ribu lebih Komunitas Belajar.

"Kalau teknologi ujung-ujungnya tidak dimiliki oleh orang-orang yang menggunakan, bisa saja dicabut, hilang, bisa saja user adopsinya stagnan dan lain-lain. Tapi kalau teknologi didesain dari awal untuk benar-benar jadi platform partisipasi guru, pasti akan sustainable dan survive."

Sama halnya dengan Nadiem, Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo juga mengutarakan hal serupa. Ia menyebut, kebermanfaatan kebijakan transformasi pendidikan sudah dirasakan banyak target.

"Kalau ke sekolah-sekolah, anak-anak itu senang dengan project based learning. Memang repot, orang tuanya ngeluh repot. Sekolah bukan penitipan anak, ya orang tua harus terlibat. Tapi memang, pelaksanaan proyek juga perlu ditingkatkan. Sekali lagi, ini tahapan-tahapan untuk memperbaiki kualitas implementasinya," katanya. 

Anindito menambahkan bahwa mengubah kurikulum tidak mudah. Misalnya, jika menteri pendidikan berikutnya mengambil kebijakan untuk mengganti kurikulum, akan ada banyak pihak yang protes.

"Apa yang terjadi kalau menteri berikutnya (mengatakan) 'gak jadi deh Kurikulum Merdeka.' Protes gak? Ada cost politik yang besar untuk mengubah kurikulum. Kami Insya Allah optimistis bahwa kebijakan dilanjutkan, disempurnakan dan itu sangat wajar. Tapi untuk perubahan yang fundamental, kami upayakan sudah terjadi di tahun 2024 ini," tuturnya.

Sedangkan dari segi administrasi, implementasi platform Aplikasi Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah atau ARKAS diklaim juga menunjukkan efisiensi proses administrasi sekolah. Platform ini terintegrasi dengan Sistem Informasi Pengadaan Sekolah atau SIPLah, sehingga proses penganggaran dan pengadaan di sekolah lebih efisien. Hasil kajian survei Oliver Wyman menunjukkan, implementasi ARKAS memangkas lebih dari 5 jam proses administrasi bulanan bagi 40 persen responden. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus