Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Organisasi Guru Usulkan Pengurangan Mata Pelajaran

Desain struktur mata pelajaran di Indonesia lebih padat dan lebih banyak dibanding sejumlah negara lain.

12 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Siswa saat bercerita tentang pengalaman hari pertama belajar tatap muka di kelas SDN 06 Pekayon Jaya, Bekasi, Jawa Barat, 3 Agustus 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Perbesar
Siswa saat bercerita tentang pengalaman hari pertama belajar tatap muka di kelas SDN 06 Pekayon Jaya, Bekasi, Jawa Barat, 3 Agustus 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Ikatan Guru Indonesia (IGI) mengusulkan kepada pemerintah agar masa pandemi Covid-19 ini menjadi momentum untuk mengurangi jumlah mata pelajaran.

  • IGI menilai jumlah mata pelajaran sekolah di Indonesia telah kebanyakan sehingga membebani siswa.

  • Desain struktur mata pelajaran di Indonesia lebih padat dan lebih banyak dibanding sejumlah negara lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

JAKARTA – Ikatan Guru Indonesia (IGI) mengusulkan kepada pemerintah agar masa pandemi Covid-19 ini menjadi momentum untuk mengurangi jumlah mata pelajaran. IGI menilai jumlah mata pelajaran sekolah di Indonesia telah kebanyakan sehingga membebani siswa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim mengatakan salah satu penyebab pendidikan di Indonesia bermasalah adalah terlalu banyak mata pelajaran. Menurut dia, dalam situasi serba sulit akibat wabah global ini, penyederhanaan kompetensi dalam kurikulum saja tak cukup. "Momen pandemi ini bisa digunakan untuk mulai memangkas jumlah mata pelajaran di Indonesia," kata Ramli ketika dihubungi di Jakarta, kemarin.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengumumkan kurikulum khusus untuk masa pandemi pada Jumat lalu. Kurikulum tersebut berlaku selama satu tahun ajaran 2020/2021. Meski menawarkan kurikulum darurat, Kementerian membebaskan sekolah memilih tiga opsi, yakni tetap memakai kurikulum 2013 normal, kurikulum 2013 yang disederhanakan pemerintah, atau kurikulum 2013 yang disederhanakan sendiri oleh sekolah.

Dengan adanya kurikulum yang disederhanakan, menurut Nadiem, siswa tidak akan terlalu terbebani oleh berbagai tuntutan. "Kami memilih kompetensi dasar yang esensial saja. Ini kompetensi yang memenuhi prasyarat untuk (naik) ke jenjang berikutnya," kata Nadiem.

Ramli menyayangkan, sejak awal pandemi, pemerintah tak berpikir untuk mengurangi jumlah mata pelajaran. Sebaliknya, pemerintah memberlakukan kurikulum darurat yang tak lain adalah mengurangi persentase pelajaran. Padahal, kata dia, mata pelajaran di Indonesia bisa disederhanakan menjadi dua: STEAM (science, technology, engineering, art, and mathematics), serta mata pelajaran pendidikan agama, Pancasila, karakter, dan budaya yang digabungkan menjadi satu.

Menurut Ramli, IGI pernah bertemu dengan Nadiem pada akhir tahun lalu dan mengusulkan agar ada pengurangan jumlah mata pelajaran. Saat itu, IGI mengusulkan mata pelajaran di sekolah dasar dirampingkan menjadi hanya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, dan pendidikan agama berbasis Pancasila.

Pada jenjang sekolah menengah pertama, IGI mengusulkan jumlah mata pelajaran ada lima. Sedangkan mata pelajaran pada jenjang sekolah menengah atas berjumlah enam.

Menurut Ramli, jika pemerintah melakukan itu, sekolah memiliki keleluasaan mendidik anak sesuai dengan minat dan bakatnya atau sesuai dengan kondisi di sekolah itu. Ia mencontohkan, jika sekolah itu berada di wilayah pertanian, siswa bisa dididik berbagai hal mengenai pertanian.

Saat ini, mata pelajaran di Indonesia pada tingkat sekolah menengah atas terdiri atas pendidikan agama dan budi pekerti; pendidikan pancasila dan kewarganegaraan; bahasa Indonesia; matematika; sejarah Indonesia; bahasa Inggris; seni budaya; prakarya dan kewirausahaan; pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan; matematika, biologi, fisika, dan kimia (IPA); geografi, sejarah, sosiologi dan antropologi, ekonomi (IPS). Di Jepang, pelajar di tingkat SMA mendapat pelajaran lebih sedikit: matematika, ilmu sosial, bahasa, sains, bahasa Inggris, seni, dan pendidikan moral.

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, Satriwan Salim, mengatakan pengurangan mata pelajaran sudah terjadi pada kurikulum 2013. Ia mengungkapkan perampingan ini tidak begitu signifikan lantaran yang dikurangi adalah pelajaran seperti sosiologi, yang awalnya diajarkan di kelas IPA dan IPS menjadi hanya diajarkan untuk kelas IPS.

Ia mengakui desain struktur mata pelajaran di Indonesia dibanding sejumlah negara lain memang lebih padat. Selain itu, dari sisi kuantitas dan jam pelajaran dalam sepekan lebih banyak. "Saya setuju pengintegrasian, hanya polanya belum ketemu," kata dia.

Tempo menghubungi Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ainun Naim dan Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Evy Mulyani untuk mendapatkan konfirmasi. Ainun dan Evy merespons dengan mengatakan, “Kami sedang rapat.”

Guru besar Universitas Pendidikan Indonesia, Said Hamid Hasan, mengatakan Kementerian harus memberikan penjelasan lebih rinci beserta contoh bahwa kompetensi yang dikurangi adalah pengetahuan, bukan kompetensi berpikir atau kognitif. Kompetensi berpikir itu adalah mengetahui, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. “Keenam kompetensi ini harus dipertahankan,” kata Hamid.

DIKO OKTARA 

27

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus