Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pakar Sebut Gagasan Amandemen UUD 1945 Harusnya Datang dari Rakyat Bukan Politikus

Pakar hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan gagasan amandemen UUD 1945 merupakan gagasan gila dari para politikus

8 Juni 2024 | 09.40 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan gagasan amandemen UUD 1945 merupakan gagasan gila dari para politikus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Bagi saya gagasan amandemen itu adalah ide gila para politisi,” kata Herdiansyah Hamzah saat dihubungi Tempo, Rabu, 6 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria yang disapa Castro ini mengatakan seharusnya usulan amandemen itu lahir dari dua hal, yakni dari rahim rakyat dan kebutuhan. Castro pun mempertanyakan apakah ide amendemen ini direncanakan berdasarkan proses yang partisipatif dengan melibatkan publik luas.

“Negara ini kan bukan milik para politisi saja, tetapi milik seluruh rakyat,” kata dia. 

Di samping itu, Castro menyebut ide amandemen UUD 1945 juga tidak berangkat dari kebutuhan sebagai sebuah bangsa. Ia mengatakan ide ini lebih didasari oleh syahwat politik dari para politikus. Apalagi, kata dia, usulan amandemen hanya berputar pada upaya mengembalikan kekuasaan tertinggi pada MPR

“Ide ini jelas khianat terhadap agenda reformasi yang kita perjuangkan darah dan air mata,” ujar Castro. 

Castro mengatakan tidak ada urgensi mendorong wacana amandemen UUD 45. Meskipun, kata dia, kalau MPR RI ingin mendorong amandemen lebih tepat membawa isu mengenai penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) daripada mengembalikan kekuasaan MPR.

“Menurut saya jauh lebih urgen membahas penguatan DPD yang selama ini masih sumir daripada soal mengembalikan kekuasaan MPR,” kata Castro. “Intinya, gagasan amandemen untuk sekarang tidak tepat.”

Yance Arizona, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, juga mengatakan tidak ada urgensi untuk amandemen UUD 1945. Apalagi ia melihat praktik perubahan konstitusi di berbagai negera justru mengancam demokrasi dan melemahkan konstitusi. Sehingga ia menilai wacana amandemen UUD 45 hanya untuk politik dagang sapi bagi-bagi kekuasaan para elit politik. 

Yance mengatakan praktik perubahan konstitusi di beberapa negara menimbulkan fenomena abusive constitutionalism, yakni fenomena melemahkan konstitusi dengan mengubahnya. Ia mencontohkan praktik ini terjadi di Rusia dan Afrika. Di negara-negara tersebut, konstitusi diubah untuk menghapus batasan masa jabatan pesiden dari dua periode menjadi tiga periode (third termism). 

“Sehingga orang seperti Vladimir Putin bisa berkuasa lebih dari 20 tahun. Di Turki amandemen konstitusi dibuat untuk mengubah sistem pemerintahan dari Parlementer ke Presidensialisme agar Recep Tayyip Erdogan bisa berkuasa lama dan melakukan sentralisasi kekuasaan,” kata Yance. 

Sebelumnya Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet menyatakan MPR siap melakukan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, perubahan itu dia katakan tidak bisa dilakukan di periode MPR kali ini.

Bamsoet mengatakan MPR akan memfasilitasi perubahan itu jika seluruh partai politik setuju untuk melakukan amandemen UUD 1945. “Termasuk penataan kembali sistem politik dan sistem demokrasi kita. Kami di MPR siap untuk melakukan amandemen,” ujar Bamsoet di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu, 5 Juni 2024.

Ia menegaskan, MPR sudah menyiapkan jalan untuk perubahan tersebut. Kesiapan itu disampaikan Bamsoet seusai para pimpinan MPR bertemu mantan Ketua MPR Amien Rais di kantor pimpinan MPR. Salah satu perubahan yang mereka bahas adalah mengembalikan kewenangan MPR untuk memilih presiden.

Amien Rais juga mengaku menyesal mengubah pemilihan presiden oleh MPR RI menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Ketua MPR periode 1999-2004 ini mengaku saat ini bertindak naif. 

Perubahan itu dulu dilakukan MPR periode Amien saat mengesahkan amandemen ketiga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada September 2001. Sebelum perubahan tersebut, MPR memiliki kewenangan untuk menunjuk kepala negara. Pemilihan presiden berubah menjadi langsung melalui pemilihan umum usai amandemen.

Amien mengatakan MPR periodenya naif saat melakukan perubahan tersebut. “Jadi mengapa dulu saya Ketua MPR itu, melucuti kekuasannya sebagai lembaga tertinggi, yang memilih presiden, dan wakil presiden itu karena perhitungan kami dulu perhitungan yang agak naif,” kata Amien di kompleks parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu, 5 Juni 2024.

Oleh karena itu, Amien kini mendukung perubahan konstitusi agar presiden kembali dipilih oleh MPR. “Nah, jadi sekarang kalau mau dikembalikan, (presiden) dipilih MPR mengapa tidak?” kata Ketua Majelis Syuro Partai Ummat itu.


EKA YUDHA SAPUTRA | SULTAN ABDURRAHMAN

Pilihan Editor: Ketua MPR Bamsoet Sebut Pemilu 2024 Sangat Brutal

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus