Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Idaman dan Partai Rakyat meminta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan semua Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Karena terbukti telah melakukan pelanggaran kode etik berat," kata kuasa hukum Partai Idaman dan Partai Rakyat, Heriyanto, dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik di gedung DKPP, Jakarta Pusat, Rabu, 14 Maret 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam persidangan yang menghadirkan pengadu, Partai Idaman, Partai Rakyat, dan Partai Republik, serta teradu, KPU dan Bawaslu itu, Heriyanto menyebutkan sejumlah pelanggaran yang diduga dilakukan dua lembaga tersebut.
"Ketua dan anggota KPU dan Bawaslu sudah melakukan pelanggaran kode etik dengan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, asas jujur dan adil, sumpah/janji penyelenggara pemilu, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu," ujarnya.
Pelanggaran pertama yang dilakukan KPU, menurut Heriyanto, adalah tidak tersedianya Sistem Informasi Partai Politik atau Sipol yang andal, aman, dan tepercaya. Ia menyebut Bawaslu juga sudah pernah mengeluarkan putusan pelanggaran administrasi Nomor 001-010/ADM/BWSL/PEMILU/X/2017, yang menyatakan KPU melakukan pelanggaran administrasi.
Heriyanto mengatakan adanya Sipol tidak mempermudah, malah mempersulit partai politik dalam melengkapi persyaratan. Sehingga, menurut dia, merujuk pada Undang-Undang Pemilu, Sipol seharusnya bukan menjadi syarat wajib. Apalagi dalam praktiknya jaringan Sipol KPU kerap mati tiba-tiba dan membuat data yang tengah dimasukkan menjadi hilang.
KPU juga diduga melakukan pelanggaran dengan menerbitkan Surat Edaran KPU Nomor 585, yang memberikan perpanjangan waktu 1x24 jam sejak berakhirnya waktu pendaftaran tanggal 16 Oktober 2017 pukul 24.00. Heriyanto menduga perpanjangan waktu itu dilakukan untuk mengakomodasi partai-partai tertentu.
Selain itu, Heriyanto mempertanyakan keberadaan tiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yakni Lukman Edy dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fandi Utomo dari Fraksi Demokrat, dan Ahmad Riza Patria dari Fraksi Gerindra, yang berada di kantor KPU saat pemeriksaan berkas PKB, Demokrat, dan Garuda.
Tindakan itu, menurut dia, menimbulkan kecurigaan publik adanya konflik kepentingan. "Itu juga melanggar Pasal 11 huruf l Peraturan Kode Etik Nomor 2 Tahun 2017, yang mengharuskan kepada penyelenggara pemilu menghindari pertemuan yang dapat menimbulkan kesan publik adanya pemihakan dengan peserta pemilu tertentu," ucap Heriyanto.
Selanjutnya, dia menuding para penyelenggara pemilu tidak adil karena memberikan kesempatan bagi Partai Berkarya dan Partai Garuda untuk memperbaiki berkas administrasi, tapi tidak bagi partainya.
"Partai Garuda dan Partai Berkarya sama seperti pengadu, tidak memenuhi syarat. Namun Partai Berkarya dan Partai Garuda diberikan waktu perbaikan sehingga lanjut pada tahap verifikasi, tetapi pengadu tidak, dan ini menjadi tindakan diskriminatif," tuturnya.
Selepas persidangan, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan lembaganya telah bekerja sesuai dengan regulasi. Dia pun menuturkan lembaganya siap mempertanggungjawabkan yang telah dikerjakan. "Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini juga bagian dari pertanggungjawaban yang dilakukan oleh KPU," ujarnya.
Adapun persidangan untuk Partai Republik ditunda lantaran waktu persidangan telah habis. Sidang berikutnya belum ditentukan waktunya. Partai Republik diagendakan membacakan gugatan yang akan dijawab KPU dan Bawaslu.