Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Masyarakat diharapkan menerapkan protokol kesehatan dan menjaga kesehatan meski angka kasus Covid-19 terus melandai. Salah satu hal yang wajib dilakukan untuk menjaga kesehatan selama masa pandemi ialah tidak menggunakan peralatan makanan dan minuman yang mengandung bisphenol A atau BPA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BPA merupakan bahan kimia yang dipakai dalam pembuatan botol plastik. Tujuannya agar botol tidak mudah rusak saat terjatuh dan membuat tampilannya lebih jernih. Namun, saat terkena panas atau sengaja dipanaskan, bahan kimia ini akan memuai dan berisiko terhadap kesehatan tubuh manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan salah satu kemasan plastik yang memiliki kandungan zat BPA ialah galon guna ulang dengan kode daur ulang 7. Menurut dia, zat bisphenol A yang ada pada galon tersebut sangat berbahaya karena dapat bermigrasi ke air yang tersimpan di dalamnya.
Pelepasan BPA di galon guna ulang dapat terjadi ketika suhu lebih rendah. Meski proses pelepasan berjalan lambat, tetap saja BPA yang luruh ke air sangat berbahaya bagi bayi, balita, dan janin pada ibu hamil.
"BPA yang bermigrasi ke air itu dipakai untuk membuat susu untuk anak. Itu sangat membahayakan masa perkembangan, kesehatan, dan masa depan anak,” kata Arist dalam diskusi, Selasa, 5 Oktober 2021.
Selain berdisiplin menerapkan protokol kesehatan, masyarakat wajib menjaga kesehatan, khususnya pada balita.
Karena itu, Arist meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) segera memberikan label keterangan peringatan pada kemasan plastik makanan dan minuman yang mengandung BPA. "Galon guna ulang diberikan label keterangan ‘hanya untuk dewasa’," ujarnya.
Sebab, Arist melanjutkan, zat BPA berdampak buruk bagi kesehatan, terutama untuk kelompok usia rentan, seperti balita, bayi, dan janin. "Karena itu, sangat penting bahwa BPOM sebagai pembawa regulator memberikan tanda-tanda bahaya supaya masyarakat dapat lebih waspada," ucap dia.
Arist mengajak semua pihak bersama-sama dan bahu-membahu mengkampanyekan bahaya BPA pada kemasan plastik. Edukasi tentang bahaya bisphenol A perlu terus dilakukan supaya anak-anak bisa menatap masa depan. "Negara jangan kalah oleh industri demi kepentingan terbaik anak-anak," kata dia.
Menurut dia, lambatnya langkah pemerintah memberikan label peringatan pada galon guna ulang terjadi karena takut terhadap kekuatan perusahaan. "Pemerintah seharusnya tidak perlu takut menghadapi perusahaan. Sebab, sudah menjadi tugas negara dan pemerintah untuk hadir melindungi kesehatan serta kepentingan rakyat," Arist menegaskan.
Akibat penggunaan bahan makanan dan minuman plastik ini, Indonesia menjadi negara penyumbang limbah plastik yang dibuang ke laut kedua terbesar di dunia setelah Cina. Ada 3,2 juta ton plastik yang setiap tahun dibuang ke laut.
Petugas membersihkan jenis botol plastik bekas di pusat daur ulang sampah plastik Cicabe, Mandalajati, Bandung, Jawa Barat, 7 September 2021. TEMPO/Prima Mulia
Koordinator Nol Sampah Indonesia, Wawan Some, mengatakan dampak limbah plastik itu sangat berbahaya bagi keberadaan biota yang hidup di air. Hal tersebut terbukti dalam hasil penelitiannya bahwa limbah plastik menyebabkan perubahan hormonal pada ikan.
Tak hanya BPA, kata Wawan, dalam plastik terdapat kandungan pemlastis (plasticizer), pewarna, dan bahan baku utama plastik dari minyak bumi, yakni hidrokarbon. "Di dalam plastik ada kandungan plasticizer. Hampir semua plastik mengandung bahan ini. Penggunaan bahan tersebut berakibat cacat pada janin,” ujarnya.
Wawan menambahkan, sejumlah hasil penelitian di Universitas Airlangga menunjukkan ada bayi yang mengalami kelainan, seperti tidak punya tempurung kepala dan kembar siam. “Itu diakibatkan oleh plasticizer," kata dia.
Menurut Wawan, saat ini tidak ada regulasi yang jelas tentang penggunaan bahan plastik dari pemerintah. Di balik kegunaannya yang dinilai praktis, murah, dan efisien, ternyata daur ulang plastik hanya mencapai kurang dari 11 persen.
Padahal, Wawan melanjutkan, pemakaian plastik sudah mencapai 6 juta ton per tahun. "Sebagian besar akan dibuang di tempat pembuangan akhir (TPA) dan sebagian lainnya ke laut," ujarnya.
Sebelumnya, Lektor Kepala Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, Emenda Sembiring, mengatakan ada peningkatan penggunaan plastik selama masa pandemi Covid-19. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan konsumsi dan perilaku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Bandung, terjadi peningkatan jumlah sampah pada masa pandemi. Menurut Emenda, sebelum masa pandemi, produksi sampah sebanyak 160 gram per orang per hari. “Pada masa pandemi menjadi 240 gram per orang per hari. Sampah kemasan plastik juga meningkat sebelum dan sesudah munculnya pandemi dari 43 gram menjadi 55 gram per orang per hari,” ujarnya.
AFRILIA SURYANIS
#cucitangan #pakaimasker #jagajarak
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo