Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan kampanye pemilihan kepala daerah di kampus. Putusan itu terjadi usai majelis hakim mengabulkan seluruh permohon dua mahasiswa dalam perkara 69/PUU-XXII/2024 pada Selasa, 20 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majelis hakim menyatakan frasa "tempat pendidikan" dalam norma Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Aturan itu juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi perguruan tinggi yang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi atau sebutan lain, dan (peserta kampanye) hadir tanpa atribut kampanye pemilu," kata Hakim Konstitusi, M. Guntur Hamzah, dikutip dari laman resmi MK, Selasa, 20 Agustus 2025.
Dalam pertimbangannya, Guntur Hamzah, mengatakan konstruksi norma Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak hanya sekadar dibaca pemilu untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden, dan dewan perwakilan rakyat daerah. Pemilu juga harus dimaknai termasuk di dalamnya pemilihan kepala daerah.
"Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu tahapan pemilu dan pemilihan kepala daerah yang dapat dinilai memiliki kesamaan adalah penyelenggaraan kampanye, " kata Guntur.
Berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Agustus 2023, kampanye di tempat pendidikan dapat dikecualikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut di atas, Guntur melanjutkan, pengecualian terhadap larangan kampanye di kampus dimaksudkan untuk memberi kesempatan civitas akademika menjadi penyelenggara kampanye pemilu untuk mendalami visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan calon.
Selain itu juga untuk membuka kesempatan dilakukannya kampanye dialogis secara lebih konstruktif, yang diharapkan bermuara pada kematangan berpolitik bagi masyarakat.
Menurut Guntur, karena substansi yang dimohonkan para Pemohon pada pokoknya sama dengan substansi Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk memberlakukan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 secara mutatis mutandis terhadap permohonan a quo. Selain itu, pemberlakuan secara mutatis mutandis tidak dapat dilepaskan dari keberlakuan prinsip erga omnes.
Gugatan ini diajukan oleh dua mahasiswa Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Jumat 12 Juli 2024, Sandy merasa dirugikan Pasal 69 huruf i UU Pilkada yang membatasi Pemohon untuk menguji secara kritis gagasan calon pemimpin daerah di tempat Pemohon menempuh Pendidikan tinggi saat ini.
Sementara Stefanie Gloria merasa dirugikan dengan adanya pasal tersebut karena potensi tertutupnya informasi mengenai gagasan antara calon pemimpin dalam ruang dialog akademis yang berpengaruh terhadap pilihan Pemohon II sebagai pemilih pemula dalam Pilkada 2024.
Para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 69 huruf i UU Pilkada sepanjang frasa “tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “mengecualikan perguruan tinggi atau penyebutan serupa sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.”