Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sejarawan Susanto: Pemerintah Perlu Belajar Maritim Sriwijaya

Ahli sejarah maritim UI Susanto Zuhdi mengatakan agar konsep Indo-Pasifik terwujud, pemeritah harus berkaca dari manajemen Kerajaan Sriwijaya.

8 Agustus 2018 | 01.08 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ahli sejarah maritim Departemen Sejarah Universitas Indonesia Susanto Zuhdi dalam Seminar Kesejarahan Sriwijaya dan Poros Maririm Dunia di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa, 7 Agustus 2018. Tempo/Ali Anwar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ahli sejarah maritim Departemen Sejarah Universitas Indonesia Susanto Zuhdi mengatakan pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo ada momentum penting untuk membangkitkan semangat perdamaian dan kemakmuran bagi Indonesia serta negara-negara Asean dan Asia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Momentum tersebut adalah perhelatan Asia Games 2018 di Jakarta dan Palembang dengan moto The Energy of Asia,” kata Susanto dalam Seminar Kesejarahan Sriwijaya dan Poros Maririm Dunia di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa, 7 Agustus 2018.

“Momentum ini untuk mewujudkan kekuatan Asia.” Mantan Staf Ahli Menteri Pertahanan RI itu juga memuji upaya Pemerintah Indonesia yang menawarkan konsep Indo-Pasifik. “Guna menjadikan Asean sebagai kawasan yang damai dan makmur,” kata Susanto.

Namun, untuk meraih momentum tersebut, Susanto menyarankan pemerintah agar berkaca dari makna sejarah yang dilakukan para pemimpin kepulauan Nusantara pada masa silam. “Makna historis kejayaan Sriwijaya, sebagai contoh, menjadi sangat penting sebagai modal bersama untuk membangun bangsa,” ujar Susanto.

Menurut Susuanto, untuk memahami Sriwijaya kita perlu memperhatikan faktor tiga periodesasi kekuasaan kerajaan yang terletak di kawasan Selat Malaka itu. Faktor pembentuk kekuatan Sriwijaya dalam rentang periode pertama (abad 7-11).

Saat itu, kata Susanto, terjadi perpaduan antara produk komoditas dari wilayah kuasa Sriwijaya dan kemampuan mengelola jaringan pelayaran dan perdagangan antarbangsa. “Ini memegang peran utama,” ujar Susanto.

Periode kedua (abad 12-13), Sriwijaya masih mampu mengendalikan perdagangan antarbangsa, terutama ke Cina. “Ketika Cina memperluas perdagangannya ke Koryo, Jepang, Champa, Angkor di Asia Tenggara, Sriwijaya disebut sebagai mitra terdekat dan terkuat.

“Sriwijaya banyak mengirim utusan pedagang kaya yang berlabuh di Guangzhou dengan membawa kemenyan,  salah satu pedagangnya bernama Shih No-wei,” ucap Susanto.

Periode ketiga (abad 14), menandai runtuhnya Sriwijaya. Pada periode ini, Susanto menambahkan, terlihat  kecenderungan baru yakni terjadinya pergeseran dan perubahan pusat kekuasaan. “Ada yang ke utara Semenanjung dan ke Timur, yang menghubungkan wilayah Asia Tenggara dengan Pasifik,” kata Susanto.

Mengapa Sriwijaya menjadi kerajaan maritime yang mandiri, kuat, dan sejahera? Kata kuncinya, kata Susanto, adalah manajemen pemerintahan yang baik, pertahanan dan keamanan yang kuat, serta melibatkan Orang Selat atau Orang Laut sebagai armada pengawal kedaulatan Sriwijaya. “Orang Selat atau Orang Laut menjadi faktor ketiga kejayaan Sriwijaya,” ucap Susanto.

Namun, menurut Susanto, kerajaan maritim Sriwijaya mulai merosot tatkala pemimpinnya menempatkan sebagian besar orang-orang daratan untuk mengisi formasi pasukannya. “Sementara orang laut telah menyingkir. Ahli navigasi dan penyelam ulung dari orang laut pun otomatis berkurang, maka keruntuhan Sriwjaya sudah tinggal menunggu waktu,”  kata Susanto.

Berkaca dari sejarah kejayaan dan keruntuhan Sriwijaya, kata Susanto, bila pemerintah saat ini ingin  dapat meraih momentum untuk membangkitkan semangat perdamaian dan kemakmuran bagi Indonesia serta negara-negara Asean dan Asia, maka harus memenuhi syarat yang dimiliki raja-raja Sriwijaya.

“Manajemen pememrintahan diperbaiki, kualitas pertahanan keamanannya ditingkatkan, dan melibatkan  orang laut selaku penguasa laut,” kata Susanto. Ironisnya, ujar Susanto, saat ini pemerintah justru mengabaikan potensi besar orang laut.

“Mereka hidup tercecer dan terpinggirkan di Kepulauan Riau. Anehnya lagi perkampungan mereka disebut sebagai ‘hinterland’ dengan nada merendahkan,” ucap Susanto. 

Kalau kondisinya seperti itu, Susanto khawatir kelak Indonesia menjadi bangsa yang ulung. “Sama seperti pasca Sriwjaya, ketika anak bangsa tak mampu menangkap pesan yang sarat nilai, semangat dan enerji kebaharian Sriwijaya tempo dulu, karena Palembang kini semakin tak menyisakan  bukti-bukti kejayaannya,” ucap Susanto.

Susanto mengaku optimistis jika perspektif historis Sriwijaya dikadikan inspirasi penyelenggara negara untuk mewujudkan konsep Indo-Pasifik dan The Energy of Asia. “Karena itu, sudah seharusnya momentum ini diperjuangkan demi cita-cita mewujudkan dunia yang damai dan sejahtera,” kata Susanto.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus