Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Alasan Wakil Ketua Komisi II DPR Usul Pemilu Dibagi dalam Tiga Babak

Berbagai kalangan meyakini penyelenggaraan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 pada tahun yang sama menjadi salah satu penyebab turunnya partisipasi pemilih.

10 Desember 2024 | 12.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga Rusun Benhil menggunakan hak pilihnya di Pilkada 2024, Tanah Abang, Jakarta Pusat, 27 November 2024. Pilkada serentak 2024 digelar 37 Provinsi di seluruh Indonesia. TEMPO/Ilham Balindra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin mengusulkan pembagian pemilihan umum (pemilu) menjadi dua kategori, yakni pemilu nasional dan daerah, di mana antarpemilu diberi jeda hingga dua tahun.

“Saya sudah bilang, itu model (pemilu) nasional dan lokal. Ini kan ilmunya Perludem,” ujar Zulfikar dalam webinar bertajuk ‘Agenda Reformasi Sistem Pemilu di Indonesia’ dipantau dari Jakarta, Senin, 9 Desember 2024.

Politikus Partai Golkar itu menuturkan, pada pemilihan tingkat daerah, masyarakat tidak lagi hanya memilih kepala daerah, tetapi juga memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 

Zulfikar lantas membagi babak pemilu menjadi tiga, yakni lokal, daerah, dan nasional. Pada babak lokal, masyarakat akan memilih DPRD kabupaten/kota, bupati/wali kota, serta wakil bupati/wali kota. “Lalu, paling tidak, setengah tahun atau dua tahun berikutnya baru pemilihan di tingkat provinsi,” ucapnya. 

Selanjutnya, dua tahun setelah pemilihan di tingkat daerah, masyarakat akan memilih anggota DPR RI, DPD RI, dan presiden-wakil presiden. Dia meyakini skema tersebut dapat menghapus perdebatan apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) akan menjadi lembaga ad hoc atau tetap menjadi lembaga permanen.

“Nanti KPU dan Bawaslu akan ada pekerjaan terus, jadi tidak lagi kita bicara dia ad hoc atau tetap, jadinya sudah tetap,” ujar Zulfikar.

Berbagai kalangan meyakini penyelenggaraan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 pada tahun yang sama menjadi salah satu penyebab turunnya partisipasi masyarakat dalam memilih. Penurunan partisipasi masyarakat terlihat pada perbandingan antara hak pilih yang digunakan pada Pemilu 2024 dan Pilkada 2024.

Sebelumnya, KPU RI menyatakan partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 di bawah 70 persen. Dalam pernyataannya di Jakarta pada Jumat, 29 November 2024, Komisioner KPU August Mellaz mengatakan angka tersebut masih dapat dikategorikan normal. Namun pada 23 November 2024, Komisioner KPU Idham Holik mengungkapkan lembaganya menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 mencapai 82 persen.

KPU juga menyebutkan sejumlah 81,78 persen pemilih menggunakan hak pilihnya pada pemilu presiden (Pilpres) 2024; kemudian 81,42 persen untuk pemilu anggota legislatif (pileg); dan 81,36 persen untuk Pemilu Anggota DPD RI.

Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, secara aktif mendorong membagi keserentakan pemilihan menjadi dua kategori, yakni keserentakan pemilihan nasional dan keserentakan pemilihan daerah.

Titi juga menyarankan agar kedua pemilihan tersebut diberi jarak selama dua tahun. Menggelar pemilu di tingkat nasional dan daerah pada satu tahun yang sama menjadikan pemilihan di Indonesia sebagai pemilihan yang paling kompleks.

TII: Penyelenggaraan Pilkada dan Pemilu di Tahun yang Sama Membuat Persiapan Kurang Optimal

Sebelumnya, pengamat sekaligus Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) Arfianto Purbolaksono mengatakan waktu penyelenggaraan pilkada dan pemilu di tahun yang sama perlu dievaluasi.

Dia menuturkan penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), perlu mempertimbangkan pelaksanaan pilkada pada tahun yang sama dengan pemilu, karena penyelenggaraan pada tahun yang sama tersebut mempengaruhi sosialisasi pilkada.

“Sosialisasi pilkada tidak semasif Pemilu 2024. Hal tersebut tentunya harus dievaluasi. Saya melihat bahwa, dengan jadwal kegiatan KPU RI hingga KPU daerah yang sangat padat pada Pemilu 2024, membuat persiapan pilkada kurang optimal, terutama terkait dengan sosialisasi pemilih,” kata Arfianto dalam keterangannya di Jakarta pada Kamis, 28 November 2024.

Dia juga mengatakan peningkatan jumlah daerah yang melaksanakan pilkada calon tunggal melawan kotak kosong perlu menjadi perhatian khusus di masa mendatang.

“Oleh karena itu, revisi aturan pilkada diperlukan untuk memastikan bahwa demokrasi lokal berjalan dengan baik, bukan hanya menjadi ritual belaka,” ujarnya.

Arfianto menyebutkan revisi aturan pilkada dapat dilakukan melalui omnibus law politik yang meliputi Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Pemilu, dan Undang-Undang Partai Politik. Meski demikian, dia mengingatkan agar revisi tersebut bukan sebatas mengenai kepentingan partai politik, melainkan untuk penyelenggara dan pemilih.

Menurut dia, pemerintah dan DPR perlu membahas isu-isu yang bukan hanya kepentingan partai politik. “Misalnya, isu pembenahan proses rekrutmen partai politik; penggunaan media sosial dalam kampanye; afirmasi pemuda, perempuan, dan penyandang disabilitas dalam pemilu; biaya kampanye; laporan pelanggaran kampanye; pengawasan partisipatif; dan lain-lain,” tuturnya.

Dia mengharapkan omnibus law politik tersebut dapat menjadi pintu masuk untuk memperbaiki kualitas pemilihan, dan mencegah pengulangan permasalahan dalam kontestasi-kontestasi sebelumnya.

ANTARA

Pilihan editor: Kata Peneliti TII Soal Fenomena Golput pada Pilkada Jakarta 2024

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus