Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Jumlah warga negara Indonesia yang terjebak dan dipekerjakan di perusahaan penipuan online di Myanmar diyakini lebih dari 20 orang yang sebelumnya sudah dibebaskan. Seorang istri WNI mengaku sudah hampir setahun suaminya terjebak di negara tersebut dan belum bisa keluar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mimpi buruk Nur (bukan nama sebenarny) bermula ketika suaminya, Efendi, (juga bukan nama sebenarnya), 51 tahun, kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19. Perusahaan produsen minuman tempat suaminya bekerja gulung tikar akibat pagebluk tersebut. Efendi terpaksa banting stir menjadi sopir di keluarga kerabatnya. “Setahun jadi sopir, tapi Lebaran tahun lalu ditawari temannya untuk kerja di Thailand,” kata Nur ketika dihubungi, Jumat, 12 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan 45 tahun yang tinggal di Pondok Gede, Bekasi itu mengingat bahwa yang menawari suaminya pekerjaan di negeri sebearang adalah temannya yang bernama Halim. Lewat Halim inilah, Efendi kemudian berkenalan dengan dua orang yang dikenal sebagai penyalur tenaga kerja Indonesia ke Thailand bernama Andri dan Anita.
Nur belakangan baru mengetahui nama lengkap kedua orang itu adalah Andri Satria Nugraha dan Anita Setia Dewi. Ia mengetahui nama lengkap itu setelah keduanya ditetapkan oleh Badan Reserse Kriminal Polri sebagai tersangka tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terhadap 20 orang WNI ke Myanmar.
Keduanya diduga menjadi pihak yang merekrut dan memberangkatkan 20 WNI tersebut untuk bekerja di perusahaan penipuan online yang beroperasi di Myanmar. Bareskrim menangkap Andri dan Anita di apartemen di kawasan Bekasi pada 9 Mei 2023. Penangkapan ini dilakukan setelah pihak keluarga dari 20 WNI tersebut menceritakan kisah kelam familinya yang bekerja di Myanmar di media sosial. Setelah cerita itu viral dan dilaporkan ke polisi, 20 WNI yang sempat tak bisa pulang ke Indonesia sekarang sudah dibebaskan.
Ketika berkenalan dengan Andri dan Anita pada Juni 2022, Efendi jelas belum tahu bahwa keduanya merupakan pelaku TPPO. Menurut Nur, setelah berkenalan dengan kedua orang itu, suaminya selalu mengikuti rapat melalui Zoom mengenai persiapan keberangkatan ke Thailand. Rapat dilakukan setiap hari setelah pukul 9 malam.
Dari rapat itu, Nur mendapatkan cerita dari Efendi mengenai janji kerja yang ditawarkan. Menurut dia, Efendi dijanjikan akan bekerja di perusahaan bidang teknologi informasi di Thailand dengan bayaran Rp 10 juta hingga Rp 20 juta per bulan. Kontrak kerja akan berlaku selama 6 bulan dan jika para pekerja mau memperpanjang kontrak hingga 10 bulan akan mendapatkan bonus.
“Kami keluarga sudah mengingatkan untuk hati-hati, tetapi mungkin karena tawaran gajinya yang besar suami saya tergiur untuk berangkat,” tutur Nur.
Pada 10 Juli 2022, Efendi akhirnya benar-benar pergi menuju Thailand bersama 5 WNI lainnya. Nur menceritakan ketika baru sampai di Thailand, suaminya sempat mengirimkan foto dan video rombongan sedang makan seafood. Tetapi Thailand ternyata bukan tempat tujuan akhir rombongan tersebut. Keesokan harinya, Efendi dan kawan-kawan dijemput menggunakan mobil dan dibawa ke perbatasan Myanmar. “Tempat tujuannya itu di hutan dan jauh dari mana-mana,” kata Nur.
Menurut Nur, awalnya komunikasi dengan suaminya masih berjalan lancar. Begitu tiba di perusahaan tersebut, paspor suaminya langsung ditahan. Seminggu pertama Efendi dan WNI lainnya menjalani pelatihan. Setelah dua minggu, Nur mengatakan Efendi baru sadar bahwa mereka telah dipekerjakan sebagai pelaku penipuan online. “Dia chat saya minta tolong lapor ke KBRI karena dipekerjakan dengan tidak benar,” ujar Nur.
Pesan-pesan yang dikirim Efendi di waktu-waktu berikutnya membuat Nur makin khawatir. Para pekerja di perusahaan itu, kata dia, akan dihukum apabila gagal memenuhi target kerja. Para pekerja dipaksa berlari mengelilingi lapangan bola basket di siang hari sambil mengangkat galon berisi air. Bentakan dan makian, kata dia, menjadi makanan sehari-hari yang dialami oleh suaminya. “Sepertinya dia tidak mau cerita lebih banyak, karena takut saya semakin khawatir,” kata dia.
Menurut Nur, Efendi bukan satu-satunya WNI yang dipekerjakan di perusahaan itu. Setelah Efendi dan 5 WNI mulai bekerja di perusahaan itu, ada lagi rombongan WNI lain yang menyusul bekerja. “Mungkin sekarang jumlahnya 10 orang,” kata Nur.
Nur mengatakan Efendi hanya diberikan waktu 5 menit setiap hari untuk berkomunikasi dengna dirinya. Lambat laun, kata dia, akses komunikasi suaminya benar-benar diputus. Efendi, kata dia, hanya sesekali menghubunginya lewat nomor telepon yang digunakannya untuk melakukan pekerjaan menipu orang. “Terakhir saya komunikasi tanggal 7 Mei kemarin,” kata dia.
Menurut Nur, keluarga bukannya tidak berusaha mengeluarkan Efendi. Negosiasi dengan pihak perusahaan sempat dilakukan pada November 2022. Pihak perusahaan, kata dia, meminta tebusan Rp 160 juta. Nur dan keluarga sempat berpikir untuk menjual rumah mertua guna mendapatkan uang yang cukup untuk membesakan suaminya. Tetapi, niat itu dibatalkan karena perusahaan tidak bisa memberikan jaminan Efendi bakal dilepas setelah uang ditransfer.
Nur juga mengaku sudah melaporkan permasalah suaminya ini ke pihak Kementerian Luar Neger sejak Agustus. Menurut dia, pihak Kemenlu maupun Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangon mengaku sudah berusaha untuk membebaskan para WNI, namun kesulitan mengingat kondisi suaminya yang berada di kawasan yang dikuasai oleh pemberontak. Nur menjadi heran ketika mendengar pemerintah berhasil membebaskan 20 WNI yang juga menjadi korban TPPO di Myanmar setelah kasus mereka viral. “Apa tidak ada pertolongan tanpa viral?” kata dia.
Menanggapi kasus Efendi, Kepala Subdirektorat Wilayah Asia Tenggara Kementerian Luar Negeri Rina Komariah mengatakan para korban WNI di Myanmar kebanyakan berada di wilayah konflik. Dia mengatakan hingga sekarang pemerintah masih berusaha membebaskan WNI yang menjadi korban TPPO di Myanmar. “KBRI masih mengupayakan agar WNI dapat keluar dari wilayah konflik tersebut,” kata dia.
Kasus Berulang
Migrant Care, organisasi yang berfokus pada advokasi permasalahan pekerja migran Indonesia meyakini bahwa 20 WNI yang telah dibebaskan dari Myanmar baru sebagian dari jumlah WNI yang menjadi korban perusahaan penipuan online di Myanmar. Migrant Care meyakini bahwa masih banyak buruh migran yang belum bisa dilepaskan dari perusahaan online scam tersebut.
Staf Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Yusuf Ardabily mengatakan selama 2022 lembaganya menerima laporan ada 216 WNI yang menjadi korban TPPO di negara-negara kawasan Asia Tenggara, seperti Laos, Kamboja, Myanmar dan Filipina. Khusus untuk Myanmar, sepanjang 2022 Migrant Care menerima 5 laporan.
Yusuf melanjutkan bahwa pada 2023 jumlah laporan yang diterima oleh lembaganya bertambah. Menurut dia baru pada awal tahun ini saja, Migrant Cares sudah menerima laporan terkait 9 WNI yang menjadi korban TPPO di Myanmar. “Efendi termasuk kasus yang kami terima sejak 2022,” kata Yusuf.
Menurut Yusuf, lembaganya mencatat pertama kali menerima laporan tentang WNI yang dipekerjakan ke perusahaan penipuan online pada 2022. Artinya, kata dia, tren perdagangan orang ke wilayah Asia Tenggara sebagai pelaku penipuan online mulai marak setelah pandemi Covid-19. Dia menduga banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi menjadi salah satu faktor kasus ini muncul. Di sisi lain, kata dia, selama pandemi pula geliat masyarakat untuk melakukan investasi dimulai. Menurut dia, dua faktor tersebut memunculkan kebutuhan terhadap pekerja yang ditugasi untuk menjadi penipu online dengan modus investasi bodong.
Yusuf menilai bantuan dari pemerintah untuk membebaskan WNI yang terjebak di Myanmar masih minim. Karena itu, kata dia, banyak WNI yang akhirnya berupaya sendiri untuk bisa bebas dari perusahaan penipuan online tersebut. “Kemarin kami menerima laporan ada 5 orang WNI yang berhasil keluar setelah bernegosiasi sendiri dengan pihak perusahaan,” kata dia.
Masalahnya, kata Yusuf, tidak semua perusahaan mau diajak bernegosiasi. Dia mengatakan sebagian perusahaan penipuan online justru akan mengancam dan melakukan kekerasan ketika keluarga korban berupaya untuk bernegosiasi. Kasus Efendi, kata dia, menjadi salah satu model perusahaan itu. “Pak Efendi selama bekerja di sana itu tidak mendapatkan gaji sama sekali,” kata dia.
Menurut dia, Migrant Care memahami bahwa upaya pemerintah membebaskan WNI di Myanmar memiliki kendala khusus, yakni lokasi perusahaan yang berada di wilayah pemberontak. Karena masalah wilayah itu, kata dia, kepolisian setempat tidak bisa merangsek masuk ke wilayah tersebut.
Meski demikian, Yusuf meyakini pemerintah sebenarnya memiliki kemampuan diplomasi untuk membebaskan para WNI. Buktinya, kata dia, pemerintah berhasil membebaskan 20 WNI di Myanmar tak lama setelah kasus itu viral. “Ini bukan soal kemampuan tetapi kemauan,” kata dia.
Pilihan Editor: Mengungkap Praktik Perdagangan Orang ke Myanmar