Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kontradiksi Kenaikan Indeks Demokrasi

Indeks demokrasi Indonesia 2021 masih kalah oleh Malaysia dan Timor Leste. Dari lima indikator, Indonesia jeblok dalam urusan kebebasan sipil dan budaya politik.

16 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga membaca buku tentang demokrasi dan pemilu di Sudut Literasi Demokarasi Mang Oded Kelurahan Antapani Tengah, Bandung, Jawa Barat, 3 Januari 2022. ANTARA/Novrian Arbi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Urusan budaya politik dan kebebasan sipil di Indonesia masih bermasalah.

  • Kebebasan sipil Indonesia masih kalah oleh Filipina.

  • Faktor yang menyumbang kenaikan indeks demokrasi Indonesia adalah partisipasi politik dari masyarakat sipil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Indeks demokrasi Indonesia 2021 versi The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan perbaikan. Skor indeks demokrasi Indonesia 2021 adalah 6,71 poin, atau naik 0,41 poin dibanding pada tahun sebelumnya. Kenaikan ini mengerek peringkat Indonesia naik ke peringkat ke-52.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski mengalami kenaikan, indeks demokrasi Indonesia 2021 masih kalah oleh negara tetangga, seperti Malaysia dan Timor Leste. Adapun indeks demokrasi Malaysia berada di peringkat ke-39 dan Timor Leste di peringkat ke-43.

Direktur Pusat Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, mengatakan negara-negara yang mengalami peningkatan indeks demokrasi bukan berarti yang terbaik. "Indonesia masuk 10 besar yang pertumbuhan bagus. Tapi, perlu dicatat, pertumbuhan bagus itu dari keadaan yang buruk," kata Wijayanto, Selasa, 15 Februari 2022.

Wijayanto mengatakan, meski Indonesia naik peringkat, sejumlah kategori penilaian masih menunjukkan angka yang jeblok. Misalnya, nilai indikator kebebasan sipil Indonesia hanya 6,18 poin dari skala 0-10. Kebebasan sipil Indonesia masih kalah oleh Filipina yang memiliki skor 6,76.

Nilai budaya politik Indonesia juga masih rendah, yaitu 4,38 poin. Indonesia kalah jauh oleh Singapura yang memperoleh 7,5 poin. Padahal Negeri Singa berada di peringkat ke-66 untuk indeks demokrasi.

“Indonesia ibarat rumah yang sedang kebanjiran. Dulu airnya seleher, sekarang selutut. Tapi kondisinya masih buruk, masih kebanjiran,” kata Wijayanto.

Mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima Mulia

Wijayanto mengatakan salah satu faktor yang menyumbang kenaikan indeks demokrasi Indonesia adalah partisipasi politik. Berbagai kelompok masyarakat sipil, seperti Lembaga Bantuan Hukum, Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), serta para netizen berkontribusi dalam partisipasi politik lewat kritikan mereka. "Skor yang baik juga memang kita punya pemilu yang teratur. Ini yang perlu diapresiasi KPU dan kawan-kawan pengawal pemilu. Baru kemudian fungsi pemerintahan yang dinilai baik," ujarnya.

Mengenai kebebasan sipil, kata Wijayanto, sejak dulu skor Indonesia selalu rendah. Sesuai dengan riset LP3ES, situasi demokrasi Indonesia saat ini bahkan mengalami kemunduran yang sangat serius, misalnya tergerusnya kebebasan sipil. Berdasarkan hasil survei LP3ES pada 2021, lebih dari 50 persen publik mengatakan takut menyampaikan pendapat di depan umum karena adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang bisa menjerat mereka ke penjara.

Pemidanaan menggunakan UU ITE ini bahkan dipakai oleh anggota Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo untuk melaporkan pegiat demokrasi ke kepolisian. Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar; dan Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, misalnya, dilaporkan ke kepolisian oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Keduanya mengungkap hasil riset beberapa lembaga yang menduga perusahaan yang terafiliasi dengan Luhut terlibat dalam kegiatan penambangan Blok Wabu, Papua.

Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, juga mengadukan dua aktivis ICW, Egi Primayogha dan Miftahul Khoir, ke kepolisian. Keduanya dilaporkan ke polisi karena mengungkap dugaan keterlibatan Moeldoko dalam kampanye Ivermectin, obat terapi Covid-19.

Menurut Wijayanto, pelaporan pegiat demokrasi ke kepolisian menggerus kebebasan sipil. "Upaya-upaya untuk membalas perbedaan pendapat dengan pidana itu merupakan indikasi adanya masalah dalam kebebasan sipil," katanya.

Wijayanto berpendapat, kebebasan sipil yang tergerus berkaitan dengan budaya politik, terutama budaya politik kekuasaan. Budaya politik kekuasaan saat ini cenderung antikritik dan tidak menghargai pendapat orang lain.

Di samping budaya politik, ada empat kategori lain yang digunakan The Economist Intelligence Unit dalam menilai indeks demokrasi suatu negara. Empat indikator itu adalah proses pemilu dan pluralisme, berlangsungnya fungsi pemerintahan, partisipasi politik, serta kebebasan sipil. Dari lima kategori ini, Indonesia mendapat skor tinggi pada indikator proses pemilu dan pluralisme, berlangsungnya fungsi pemerintahan, serta partisipasi politik. 

Meski begitu, jebloknya skor pada indikator budaya politik dan kebebasan sipil menempatkan Indonesia dalam kategori negara dengan demokrasi cacat. EIU mengkategorikan negara dengan demokrasi cacat sebagai negara yang memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, tapi bermasalah dalam urusan kebebasan pers dan kebebasan sipil. 

EIU memberi nilai tambah kepada Indonesia berkat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, yang dinyatakan inkonstitusional dan cacat formal. EIU menilai putusan MK ini menunjukkan tingkat independensi peradilan yang kuat dari intervensi pemerintah. Selain itu, keputusan Presiden Jokowi untuk mengakomodasi berbagai kelompok politik di kabinetnya dianggap sebagai satu keberhasilan untuk membangun kompromi di antara kekuatan politik.

Indeks Demokrasi Indonesia Meningkat

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, berpendapat bahwa penilaian EIU ini cenderung kontradiktif. Sebab, langkah Presiden Jokowi yang mengakomodasi berbagai kelompok politik itu melahirkan omnibus law UU Cipta Kerja. "The Economist melihat langkah Presiden Jokowi mengakomodasi lawan politik sebagai kontribusi positif, tapi enggak melihat dampak bahwa akomodasi itu membuat pemerintah jadi enggak ada sistem checks and balances," kata dia.

Menurut Titi, putusan MK itu tak terlepas dari kontribusi masyarakat sipil yang secara terus-menerus menentang UU Cipta Kerja. Di samping itu, kata dia, banyak produk legislasi saat ini yang berjarak dengan kepentingan publik, antara lain revisi kedua UU Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019 dan revisi UU Mahkamah Konstitusi.

"UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berlarut-larut, UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang tak kunjung selesai, itu tanda aspirasi publik tidak terfasilitasi," kata Titi.

Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Faldo Maldini, mengatakan laporan EIU memunculkan pesan bahwa Presiden Jokowi tidak hanya menjadi pemimpin bagi pendukungnya, tapi juga para pengkritik pemerintah. Ia mengklaim Presiden Jokowi berhasil membangun konsolidasi politik dan pemerintahan yang efektif agar seluruh kelompok yang ingin mempercepat pemulihan bangsa dapat memberikan kontribusi besar.

Faldo mengatakan pemerintah akan menjadikan penilaian indeks demokrasi Indonesia sebagai masukan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. "Kami akan terus bekerja melakukan perbaikan demokrasi," kata dia.

MAYA AYU PUSPITASARI 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus