Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kampus Pemimpin Merdeka: Design Thinking Bantu Guru Sesuaikan Kebutuhan Murid

Kampus Pemimpin Merdeka berbagi tentang bagaimana proses design thinking dapat membantu guru membuat media pembelajaran sesuai kebutuhan murid.

5 Mei 2023 | 10.45 WIB

Ilustrasi guru sedang berdiskusi dengan siswa sekolah.
Perbesar
Ilustrasi guru sedang berdiskusi dengan siswa sekolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Rizqy Rahmat Hani, Ketua Kampus Pemimpin Merdeka, salah satu unit operasi Yayasan Guru Belajar menjelaskan bagaimana proses design thinking dapat membantu guru membuat media pembelajaran yang bermakna dan sesuai dengan kebutuhan murid.

Terdapat lima tahapan yakni empati, mendefinisikan, ide, purwarupa atau prototipe, dan uji coba. Proses ini membantu guru memastikan bahwa media pembelajaran yang dibuat sesuai dengan kebutuhan murid sebagai calon penggunanya.
 
Pada tahap empati, guru setidaknya harus memikirkan dua hal dari sisi murid, yaitu minat dan lingkungan. Misalnya, jika murid tinggal di daerah pegunungan dengan mayoritas orang tua berprofesi sebagai petani apel, guru dapat mempertimbangkan media pembelajaran terkait buah apel.
 
“Tahap empati sangat penting, karena kita akan memetakan mana yang sesuai dengan kebutuhan dan minat murid dan mana yang tidak. Misalnya, kita maunya canggih, media pembelajaran yang hanya bisa diakses menggunakan HP. Tapi murid pada nggak punya HP, yang punya orang tuanya. Ini tidak sesuai,” terangnya dari rilis yang diterima Tempo pada Kamis, 4 Mei 2023.
 
Tahap selanjutnya adalah mendefinisikan. Pada tahap ini, guru bisa mulai memetakan materi mana yang memang sulit sehingga membutuhkan media pembelajaran. 
 
Menurut dia, jika murid tidak kesulitan memahami suatu materi maka tidak diperlukan media pembelajaran. Misalnya dalam satu semester, kesulitan murid hanya pada materi peluang, maka guru hanya perlu membuat media pembelajaran untuk materi tersebut. Untuk pemetaannya bisa menggunakan hasil angket atau wawancara. 
 
Tahap ketiga adalah saatnya guru menuliskan ide sebanyak-banyaknya. Ide-ide tersebut kemudian dianalisis dan dieliminasi berdasarkan yang paling butuh banyak biaya dan tenaga namun dampaknya kecil.
 
“Misalnya, setelah tahu murid sukanya yang serba bergambar dan hidup di daerah yang banyak kesemek, lalu mau bikin buku cerita tentang itu. Kalau buku bergambar dan muridnya ada 40, banyak biayanya. Bisa dipertimbangkan hitam putih saja. Terlebih, gambar hitam putih bisa membuat anak SD lebih mengeksplorasi imajinasinya,” katanya.
 
Setelah diputuskan media pembelajarannya, guru bisa membuat rancangannya dalam tahap purwarupa atau prototipe. Sebagai contoh, media berupa buku cerita berarti butuh dibuat kerangkanya terlebih dahulu. Jika medianya video, berarti butuh pembuatan storyboard.
 
Tahap terakhir adalah uji coba, yaitu beberapa murid diajak untuk menggunakan media pembelajarannya. Di tahap ini, guru bisa melihat seberapa efektif dan berdampak media yang telah dibuatnya. Jika belum terasa efektif, guru bisa mengulangi langkah-langkah design thinking untuk mencari bagian mana yang masih terlewat.
 
“Intinya, membuat media pembelajaran itu sesuaikan dengan kebutuhan murid. Jadi murid senang dalam belajar, lebih fokus saat belajar, dan lebih memahami konsep, tidak hanya konten,” kata Rizqy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Nabiila Azzahra

Nabiila Azzahra

Reporter Tempo sejak 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus