Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengecam sikap dan pernyataan elit politik dari kubu Joko Widodo maupun Prabowo Subianto, yang dianggap terus memanaskan suasana seusai penetapan presiden terpilih Pemilu 2019 dan unjuk rasa 22 Mei di kantor Badan Pengawas Pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menilai pernyataan para elit politik dari kedua kubu justru mengakselerasi kekerasan. Hal ini bisa dilihat dari sentimen antipolisi yang semakin memanas di lapangan, saat massa dari Jakarta maupun luar Jakarta yang melakukan unjuk rasa 22 Mei.
“Sampai pukul 18.00, 21 Mei kemarin kedua belah pihak terus melontarkan pernyataan publik yang semakin memperkeruh suasana,” kata Yati melalui keterangan tertulis, Rabu, 22 Mei 2019. Selain Kontras, LSM lain yang turut mengecam sikap dan pernyataan elit politik adalah Lokataru dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Berdasarkan hasil pemantauannya selama dua hari terakhir pada 20 – 21 Mei 2019, Yati menemukan beberapa titik kerusuhan, seperti Petamburan, Slipi, K.S. Tubun, Sabang, dan Wahid Hasyim melibatkan aparat kepolisian dengan demonstran.
Hasil pantauan sementara dari sejumlah rumah sakit dan lapangan, Yati mencatat sedikitnya 300 orang mengalami luka-luka, 10 orang luka berat, dan 5 orang meninggal dunia. Beberapa korban yang meninggal dunia teridentifikasi mengalami luka tembak dibagian dada dan leher. “Bahkan, data dari pihak Pemprov DKI terdapat enam orang tewas.”
Lima orang yang tewas berdasarkan catatan pihaknya, yakni Farhan Syafero (30 tahun), Adam Noorsan (17 tahun), Yudianto Rizki Ramadhan (19 tahun), Rayhan (15 tahun) dan Abdul Aziz (belum terverifiksai).
Kontras juga mengidentifikasi bahwa para demonstras berasal dari berbagai daerah seperti Tangerang, Bekasi, Bangka, Bogor dan Depok. “Massa yang menjadi korban masih berusia remaja.”
Selain itu, ia menilai langkah pemerintah yang membatasi akses informasi tidak membantu meredam situasi dan tidak menunjukkan tanggung jawabnya sebagai negara. Di sisi lain, pernyataan – pernyataan elit politik dari kedua kubu menunjukkan kegagalan mereka dalam melakukan self-cencorship atas ucapan – ucapannya, seperti Wiranto dan Amien Rais.
Ia mencatat Amin Rais pernah menanggapi pernyataan Sandiaga Uno soal suara rakyat Indonesia suara 02 jangan diotak-atik, harus dibela sampai titik darah penghabisan. Amin, kata dia, juga menyatakan bahwa polisi-polisi yang berbau PKI telah menambak umat Islam secara ugal-ugalan.
Sedangkan Wiranto, kata Yati, menyatakan yang menyerang dalam kerusuhan saat unjuk rasa 22 Mei di Bawaslu adalah preman-preman yang dibayar. “Pernyataan para elit di kedua kubu semakin memperburuk situasi sejak sebelum dan setelah penetapan pemenang pemilu presiden oleh Komisi Pemilihan Umum.”