Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teguh Yuwono
Dosen Fakultas Kehutanan UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan ini dunia kehutanan Indonesia diramaikan oleh berita mengenai penangkapan kayu merbau, yang diduga berasal dari pembalakan liar, oleh tim Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahkan jumlah kayu yang ditangkap di Surabaya dan Makassar cukup fantastis, mencapai 424 kontainer. Menurut tim, sebagian besar kayu berasal dari Papua dan sisanya dari Maluku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari jumlah dan frekuensinya yang besar, dapat disimpulkan bahwa peredaran kayu merbau ilegal dari wilayah Indonesia bagian timur masih marak dilakukan oleh pelaku pembalakan liar. Permintaan kayu merbau untuk pasar lokal dan ekspor sangat tinggi. Para pembalak juga terkesan tidak jera meski sudah terjadi penangkapan.
Kayu merbau itu sebagian besar masih berbentuk kayu hasil gergaji rantai (chainsaw). Ini menunjukkan bahwa pembalakan liar tidak dilakukan oleh industri primer (sawmill) atau industri pengolahan kayu lanjutan. Dalam pembalakan liar, industri pengolahan kayu berperan sebagai penampung atau penadah kayu.
Berdasarkan analisis fakta dan data pembalakan liar di Papua dan Maluku, dalam melakukan pencucian kayu (timber laundry), perusahaan pengirim mengubah status kayu merbau ilegal seolah-olah berasal dari industri pengolahan kayu yang sah melalui penerbitan dokumen angkutan resmi.
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, perusahaan pengirim kayu ilegal tersebut dapat dijerat dengan pasal mengenai pengedaran kayu hasil pembalakan liar, pemalsuan surat keterangan hasil hutan, dan perubahan status kayu hasil pembalakan liar seolah-olah menjadi kayu yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga. Selain diancam sanksi pidana, pelaku dapat dikenai sanksi denda.
Kegiatan pembalakan liar menimbulkan banyak dampak negatif. Berbagai media massa banyak memberitakan rusaknya hutan akibat kegiatan pembalakan liar dan menimbulkan bencana lingkungan, seperti banjir bandang dan tanah longsor yang merenggut korban jiwa, melumpuhkan perekonomian, dan menyebabkan kerugian material cukup besar. Dari sisi pemasukan negara, pembalakan liar menyebabkan potensi tidak dipenuhinya kewajiban kepada negara dalam bentuk dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan (PSDH).
Bila tarif dana reboisasi untuk setiap meter kubik kayu merbau US$ 16 dan PSDH Rp 185 ribu, 424 kontainer merbau ilegal yang disita tim Kementerian itu berpotensi merugikan negara Rp 2,6 miliar hingga Rp 3,5 miliar. Nilai kerugiannya tampak tidak terlalu besar. Namun kayu ini ada kemungkinan hanya sebagian kecil dari volume kayu pembalakan liar yang berasal dari dua pulau tersebut dan beredar di pasaran.
Pada 2016, setelah melalui perjuangan panjang sejak penerapan Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada 2009, Indonesia akhirnya mendapat pengakuan dari Uni Eropa dengan diperolehnya lisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT). Artinya, sejak 15 November 2016, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang berhak untuk menerbitkan lisensi FLEGT.
Namun perusahaan pengirim kayu merbau ilegal dari Papua dan Maluku itu juga memiliki SVLK. Dengan menyandang sertifikat VLK, seharusnya perusahaan tersebut memenuhi norma penilaian bahwa dalam proses produksinya digunakan bahan baku yang sah, diproses dengan cara yang benar, dan dijual menggunakan dokumen angkutan yang sah. Ternyata mereka menyalahgunakan sertifikat tersebut serta tetap menampung dan mengedarkan kayu merbau hasil pembalakan liar.
Pada Januari lalu, Kementerian Kehutanan memang segera menugasi Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) sebagai lembaga penilai independen untuk memeriksa status legalitas kayu dari perusahaan-perusahaan itu. Dari hasil audit khusus itu, Kementerian sudah menyiapkan beberapa opsi untuk mengatasi permasalahan tersebut, termasuk membekukan sertifikat VLK dari perusahaan yang terbukti melanggar.
Langkah Kementerian patut diapresiasi. Namun masih banyak celah dari sistem VLK yang dapat ditembus oleh pihak-pihak yang ingin melanggar. Maka, pekerjaan rumah Kementerian dan LVLK adalah menyempurnakan sistem penilaian dan mekanisme pengawasan kepatuhan dari para pemegang sertifikat VLK. Peran dari masyarakat, khususnya lembaga pemantau independen, dalam memantau dan mengawasi jika ada ketidaktaatan dan pelanggaran juga harus berjalan dengan baik.
Kementerian jangan hanya berfokus di Papua dan Maluku. Masih banyak kasus pembalakan liar dan pelanggaran oleh perusahaan hutan di luar dua pulau tersebut. Selain itu, penegakan hukum tak hanya berhenti pada pelaku di lapangan, tapi harus membongkar keterlibatan para pihak yang turut serta dalam kegiatan pembalakan liar.
Pembalakan liar dan pencucian kayu merupakan salah satu bentuk kejahatan terorganisasi yang melibatkan banyak pihak dan memiliki jaringan yang kompleks, dari pelaku di lapangan sampai pengambil kebijakan oleh oknum pengusaha dan penguasa. Mengingat pentingnya hutan dan lingkungan untuk menjamin keseimbangan ekosistem bumi, pembalakan liar dan pencucian kayu sudah dapat disetarakan dengan terorisme lingkungan karena bahaya yang ditimbulkan akan dirasakan bukan hanya generasi saat ini, melainkan juga generasi mendatang.