Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan Negeri Mojokerto menyatakan Aris, yang telah memerkosa sembilan anak di bawah umur, terbukti bersalah melanggar Pasal 76 juncto Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Atas perbuatannya tersebut, Aris dijatuhi hukuman pidana penjara 12 tahun serta pidana tambahan kebiri dan pemasangan pendeteksi elektronik sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan itu telah dikuatkan pengadilan tingkat selanjutnya. Namun ada persoalan dalam eksekusi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Sebagaimana diuraikan oleh Remelink (1987), pada hakikatnya, pidana tambahan dijatuhkan agar terpidana tidak dapat mengulangi kembali perbuatannya.
Masalahnya, negara belum mempunyai petunjuk pelaksanaan eksekusi kebiri kimia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Hal ini menyebabkan jaksa tidak dapat segera mengeksekusi vonis hukuman tersebut. Saat ini, pemerintah harus segera melakukan koordinasi agar vonis tersebut dapat dieksekusi, mengingat hal ini berkaitan dengan proses penegakan hukum.
Kini bukan saatnya lagi memperdebatkan kontroversi hukuman kebiri kimia karena hukuman tersebut telah dilegalkan melalui undang-undang. Persoalannya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor pelaksanaan hukuman kebiri kimia karena perundangan mengatur bahwa yang menjadi eksekutor adalah jaksa, bukan dokter. Selain itu, belum ada petunjuk pelaksanaan bagi dokter dalam pelaksanaan eksekusi kebiri kimia. Jaksa juga tidak dapat melakukan eksekusi karena hal itu berada di luar kapasitas profesionalnya.
Dalam naskah akademik Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, hukuman kebiri kimia dikenakan sebagai pidana tambahan agar tidak terulang kejahatan serupa oleh pelaku. Soesilo (1986) menerangkan bahwa sanksi pidana yang memiliki tujuan melindungi masyarakat harus ditunjang dengan mekanisme penegakan hukumnya dengan tujuan memberikan efek jera bagi pelaku ataupun (calon) pelaku lainnya.
Saat ini, pelaksanaan hukuman itu tidak dapat hanya dilakukan melalui diskresi, fatwa, atau surat edaran, tapi harus mengacu pada peraturan hukum. Pemerintah memang perlu segera menerbitkan peraturan pemerintah mengenai detail teknis pelaksanaan vonis kebiri kimia.
Dasar hukum itu penting guna menunjang proses eksekusi kebiri kimia. Ini termasuk memberikan kewenangan kepada para pihak yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan eksekusi dan peran jaksa sebagai eksekutor.
Kini semua pihak harus kembali menyamakan persepsi tentang pidana kebiri kimia tersebut. Semua pihak perlu membangun sinergi dalam pelaksanaan eksekusinya. Idealnya, selain pemerintah menerbitkan aturan pelaksanaannya, pihak yang terkait, seperti kejaksaan dan IDI, perlu merumuskan detail teknis petunjuk pelaksanaan eksekusi tersebut.
Ini seperti pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur jenis pidana hukuman mati. Jaksa selaku eksekutor juga memiliki petunjuk pelaksanaannya, sehingga hukuman tersebut dapat dieksekusi.
Mengacu pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), peran eksekusi ada pada jaksa. Maka, idealnya, eksekusi kebiri kimia dilakukan atas perintah jaksa setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Artinya, jaksa disebut sebagai eksekutor karena memberikan perintah pelaksanaan hukuman kebiri kimia sesuai dengan petunjuk pelaksanaannya. Dalam konstruksi pidana, dokter bukan eksekutor, tapi hanya menjadi tim teknis pelaksanaan hukuman.
King (1996) menguraikan, tenaga medis terlibat dalam pelaksanaan hukuman ketika negara (dalam hal ini jaksa) membutuhkan pertolongan dari warga negaranya yang memiliki kualifikasi dan keahlian tertentu untuk menegakkan hukum serta melindungi kehidupan masyarakat luas. Karena kualifikasi dan keahlian untuk melakukan kebiri kimia hanya dimiliki oleh dokter, logis jika dokter dilibatkan. Secara hukum, jika dokter tak terlibat, hukuman tersebut tidak dapat dieksekusi.
Semangat awal Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 yang mengintroduksi pidana tambahan kebiri kimia adalah untuk melindungi warga negara. Jika kini hukuman kebiri kimia tidak dapat dilaksanakan, sama artinya dengan perlindungan terhadap warga negara tidak dapat dilakukan secara optimal karena terbentur hal yang sifatnya prosedural.
Solusinya, pemerintah bersama pihak terkait harus memberi dasar hukum pelaksanaan eksekusi kebiri kimia. Selain itu, tentu perlu dipikirkan cara untuk mengembalikan pada keadaan semula jika, misalnya, terdakwa yang telah menerima hukuman kebiri kimia ternyata pada tingkat peninjauan kembali divonis tidak bersalah. Untuk hal semacam ini diperlukan sinergi antara penegak hukum dan tim dokter serta pihak terkait.