Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Imparsial dan Komnas HAM Dukung Wacana Penarikan Pasukan Non-Organik Papua

Rencana Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menerapkan pendekatan teritorial memunculkan wacana penarikan pasukan non-organik di Papua.

18 Desember 2021 | 01.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa (kiri) dan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono (kanan) memimpin pertemuan dengan pejabat tinggi TNI AL saat kunjungan di Mabes TNI AL, Cilangkap, Jakarta, Senin, 22 November 2021. ANTARA/Galih Pradipta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Rencana Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menerapkan pendekatan teritorial memunculkan wacana penarikan pasukan non-organik yang ada di Tanah Papua. Selama ini, keberadaan pasukan ini dianggap menjadi salah satu biang kerok tak kunjung usainya kekerasan di Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Imparsial Ghufron Mabruri menilai kebijakan pengerahan pasukan non-organik selama ini memiliki banyak masalah. Tidak hanya terkait dengan akar kekerasan, tapi secara kebijakan, hal ini juga bermasalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tak ada akuntabilitas, kontrol, dan pengawasan. Sehingga, potensi penyimpangan pada operasi pasukan non-organik banyak terjadi di lapangan," kata Ghufron saat dihubungi Tempo, Jumat, 17 Desember 2021.

Selama ini, ia menilai pelaksanaan operasi militer selain perang (OMSP) di Papua juga belum sesuai dengan ketentuan pasal 7 ayat 2 dan 3 di Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia. Seharusnya, pelaksanannya mensyaratkan adanya keputusan politik negara.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, berdasarkan laporan yang mereka selama ini terima, pelaku kekerasan oleh TNI di Papua berasal dari satuan non-organik. Karena itu, Anam mendukung rencana Andika Perkasa untuk memperkuat operasi teritorial dengan menjadikan pasukan organik sebagai tulang punggung.

"Sebagai suatu konsep, (pendekatan teritorial) ini lebih baik daripada pendekatan operasi yang tulang punggungnya pasukan non-organik," kata Anam.

Pendekatan teritorial ini juga harus diiringi dengan menurunkan stigma pada masyarakat Papua, yang masih kerap terjadi saat pendekatan operasi oleh pasukan non-organik dilakukan. Anam mengatakan stigma ini kerap menyebabkan salah tangkap saat aparat mengejar kelompok kriminal bersenjata.

Ia mencontohkan warga sipil yang salah ditangkap karena diduga terlibat KKB. Padahal dasar penangkapan hanya berdasarkan ciri fisik dan tanpa data identitas yang lengkap. Belakangan, bahkan kelompok kebebasan Papua juga mulai melakukan hal yang sama pada warga non-Papua.

"Kurangi stigma perlebar komunikasi yang baik. Komnas HAM akan membantu membangun menciptakan Papua dengan berbagai dialog yang ada. Kami mengupayakan dengan sungguh-sungguh dialog dengan KKB," kata Anam.

Senada dengan Anam, anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mayor Jenderal (Purnawirawan) TB Hasanuddin, mengatakan selama ini, pasukan non-organik cenderung bertindak tanpa pikir panjang dalam bertugas. Hal ini tidak terlepas dari mental bahwa mereka hanya bertugas sementara di Papua. Ini juga diperparah dengan kemampuan pasukan non-organik yang cenderung tidak menguasai medan dan situasi sosial di tempatnya bertugas.

"Saya sepakat satuan non-organik dikurangi secara bertahap. Sehingga cukup satuan-satuan di sana saja. Dan ini (pendekatan teritorial) konsepnya kan merangkul, kalau konsep merangkul tak perlu pakai satuan tempur," kata TB Hasanuddin.

Meski begitu, aktivis HAM dari Papua, Yones Douw, meragukan wacana penarikan pasukan non-organik ini akan betul-betul diambil oleh TNI. Ia mengatakan hingga hari ini saja, operasi militer masih tetap berjalan di sejumlah daerah di Papua seperti Nduga, Intan jaya, Puncak Papua, Yahukimo, Pegunungan Bintang, hingga Maybrat.

Baku tembak antara aparat dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua seperti Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) pun masih kerap terjadi. Apalagi Yones mengatakan saat ini sistem persenjataan yang digunakan kelompok pro-kemerdekaan tidak lagi menggunakan anak panah dan busur.

"Sekarang TPN-OPM memiliki senjata modern sama seperti TNI-Polri. Jadi untuk tarik pasukan tidak mungkin," kata Yones.

Yones semakin meragukan rencana ini setelah Andika juga mengatakan akan mulai memekarkan pos-pos militer. Penambahan pos militer ini ia nilai dilakukan untuk membatasi ruang gerak TPNPB-OPM.

"Jadi singkatnya itu penarik pasukan non-organik Mereka ditempatkan dan dikembalikan ke pos-pos baru di Papua," kata Yones.

EGI ADYATAMA

Egi Adyatama

Egi Adyatama

Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Alumni Universitas Jenderal Soedirman ini sejak awal meliput isu politik, hukum, dan keamanan termasuk bertugas di Istana Kepresidenan selama tiga tahun. Kini menulis untuk desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus