Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ini Alasan Waketum PAN Minta Narasi Cebong dan Kampret Harus Diakhiri

Waketum DPP PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan narasi dan istilah destruktif di politik harus diakhiri, diisi dengan pertarungan ide dan gagasan

5 Juni 2022 | 15.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum DPP PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan narasi dan istilah destruktif dalam dunia politik Indonesia harus diakhiri karena seharusnya diisi dengan pertarungan ide, gagasan, dan pemikiran untuk kemajuan bangsa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"PAN berharap dunia politik harus diisi dengan pertarungan ide, gagasan, dan pemikiran untuk kemajuan bangsa. Bukan mengeksploitasi perbedaan suku, agama, ras, dan golongan untuk memupuk politik identitas demi peningkatan elektoral," kata Viva Yoga seperti dikutip dari Antara, Minggu 5 Juni 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menjelaskan pengertian politik identitas itu menggunakan perbedaan identitas manusia berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan untuk tujuan meningkatkan elektoral dan elektabilitas figur atau partai.

"Narasi dan istilah destruktif harus diakhiri seperti cebong versus kampret, lalu sekarang kafir versus kadrun," ujarnya.

Menurut dia, saat ini meskipun Prabowo Subianto sudah menjadi pembantu Presiden, para pendukungnya di media sosial masih berhadapan dengan pendukung Jokowi saat Pemilu 2019.

Viva Yoga mengaku heran narasi cebong dan kampret masih saja ribut tidak ada ujungnya, padahal Prabowo dan Jokowi sudah bersatu untuk membangun bangsa. "Termasuk fenomena kafir versus kadrun. Ini narasi yang menjadi virus dan merusak tubuh demokrasi Indonesia," katanya.

Karena itu, menurut dia, dunia politik Indonesia harus diisi dengan pertarungan ide, gagasan, dan pemikiran untuk kemajuan bangsa.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengharapkan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri atas Partai Golkar, PAN, dan PPP dapat mengusung minimal tiga pasang calon pada Pilpres 2024 untuk menghindari polarisasi.

"Oleh karena itu (untuk menghindari munculnya polarisasi), kami berharap di KIB, kita mendorong sekurang-kurangnya ada tiga calon pada Pilpres 2024," kata Zulhas, sapaan akrab Zulkifli Hasan saat menyampaikan pidato dalam acara Silaturahim Nasional Koalisi Indonesia Bersatu di Jakarta, Sabtu (4/6).

Menurut dia, berdasarkan sejarah pemilihan presiden di Indonesia sejak tahun 2004 sampai 2019, keberadaan pasangan calon yang hanya berjumlah dua pasangan pada Pilpres 2014 dan 2019 merupakan awal timbulnya polarisasi di tengah masyarakat.

"Kami melihat bahwa salah satu penyebab polarisasi di tengah masyarakat kita adalah diselenggarakannya pilpres. Dulu pada 2004, pilpres diikuti lima calon, Indonesia aman, tidak ada soal. Tahun 2009 ada tiga calon, Indonesia aman, tidak ada soal. Tahun 2014 dua pasang dan 2019 dua pasang, itu mulai ada soal," kata Zulhas.

Karena itu, ia menilai pada Pilpres 2024, minimal ada tiga pasang calon yang diusung KIB. Dia menjelaskan mengakhiri polarisasi merupakan semangat yang mendasari bersatunya Golkar, PAN, dan PPP dalam Koalisi Indonesia Bersatu.

Baca: Pakar Politik Menilai Projo Kemungkinan Dapat Restu Jokowi Dukung KIB

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus