Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma'ruf, mengatakan BPJS akan mengikuti Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang pengenaan urun biaya dan selisih biaya dalam Program Jaminan Kesehatan. Menurut Iqbal, BPJS selaku operator atau pelaksana akan mengikuti aturan main yang diterapkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI).
Baca: Aturan Urun Biaya BPJS Kesehatan Tunggu Putusan Menteri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jadi tidak mungkin juga BPJS tidak melaksanakan, karena perintah regulasinya seperti itu," kata Iqbal saat dihubungi Tempo, Senin, 21 Januari 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Kemenkes RI, melalui siaran persnya pada Minggu, 20 Januari 2019, mengatakan akan melaksanakan Permenkes nomor 51 tahun 2018 tentang pengenaan urun biaya dan selisih biaya. Namun, hingga saat ini Permenkes tersebut belum diberlakukan.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemenkes RI, Sundoyo, Permenkes itu baru mengatur tentang prosedur dan besaran urun biaya.
Ia berujar jenis pelayanan kesehatan yang dikenakan urun biaya harus ditetapkan terlebih dahulu oleh Menteri Kesehatan. Jenis pelayanan kesehatan itu, kata dia, sebelumnya harus dikaji oleh tim yang unsurnya terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perasatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), serta Akademisi dan Kementerian Kesehatan.
"Sementara jenis pelayanan kesehatan yang dapat dikenakan urun biaya harus diusulkan terlebih dahulu oleh Asosiasi Perumahsakitan, BPJS Kesehatan, atau Organisasi Profesi," kata Sundoyo dalam siaran persnya, Minggu, 20 Januari 2019.
Baca: Kemenkes: Pengenaan Urun Biaya Belum Berlaku Bagi Peserta JKN
Sementara itu, Iqbal menuturkan urun biaya merupakan hal yang jamak dilakukan oleh asuransi sosial di negara-negara lain. Menurut dia, kebijakan ini merupakan bentuk agar masyarakat lebih berdisiplin dalam mengambil pelayanan Rumah Sakit.
"Kalau lihat angkanya kan Rp 10 ribu dan Rp 20 ribu. Ketika masuk di RS, dari total yang diterima, masih lebih besar yang diterima, yang dibiayai oleh program," tutur dia.
Sedangkan, untuk selisih biaya, Iqbal menuturkan kebijakan itu dapat mencegah agar peserta BPJS mengambil iuran di kelas yang lebih rendah dari kemampuannya. "Ini kita menemukan fenomena itu, jadi orang yang sebenarnya mampu, dia justru mendaftar di kelas 3 untuk syarat supaya komplit dengan regulasi, dan mbayar iurannya tidak sebesar kalau dia harus mbayar di kelas 1," ujar dia.
"Nanti kalau mengakses layanan Rumah Sakit manfaat medis yang dia terima kan tidak ada perbedaan fasilitas kelas 3 sama kelas 1? Tapi manfaat non-medis dia bayar sendiri. Kalau dia berhitung, hitung hitungannya mungkin kalau dia mbayar iuran langsung di kelas 1 lebih hemat. Sebenernya Permenkes ini bagus," ujar dia.