Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pusako Sebut Ada 7 Dosa Besar UU Omnibus Law Cipta Kerja

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan ada 7 dosa besar dari UU Omnibus Law Cipta Kerja.

6 Oktober 2020 | 23.07 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan ada tujuh dosa besar dari Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tanpa mengindahkan penolakan maupun mempertimbangkan publik, Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja disahkan DPR bersama pemerintah," kata Feri dalam keterangan tertulisnya, 6 Oktober 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dosa pertama adalah kekuasaan yang sombong. Feri menilai pemerintah menjadi sentralistik kekuasaan seperti Orde Lama dan Orde Baru. UU Cipta Kerja, menurut dia, jauh dari cita-cita reformasi karena meletakan kekuasaan yang terpusat pada pemerintah pusat, melalui pembentukan ratusan peraturan pemerintah (PP), terutama izin usaha hingga penyelenggaraan penataan ruang.

Baca juga : UU Omnibus Law Cipta Kerja: Beda Risiko Bisnis, Beda Izinnya

Dosa kedua adalah ketamakan para pebisnis. Feri mengatakan UU Cipta Kerja hanya memprioritaskan kemudahan bagi investor. Sebab, pebisnis cukup menggunakan pendekatan kepada pemerintah pusat yang menentukan segala hal. "Khas UU Cipta Kerja terkait kemudahan bagi para pemilik modal bisnis yang juga terjadi di negara-negara dunia ketiga," ujarnya.

Dosa ketiga adalah iri terhadap kuasa pemerintahan daerah. Feri mengatakan bahwa UU Cipta Kerja memperlemah kekuasaan pemerintah daerah yang menjalankan prinsip otonomi. Termasuk izin usaha di daerah, tata ruang desa, penentuan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dosa keempat adalah rakus. UU Cipta Kerja, kata Feri, akan menimbulkan ketimpangan keuangan pusat dan daerah. "Makin patuh daerah kepada pemerintah pusat berpotensi akan menikmati dibandingkan daerah yang bukan partai pemerintah," katanya.

Menurut Feri, seluruh sumber daya alam yang ada penentuan perizinannya melalui pemerintah pusat. Bahkan, seluruh bisnis, contoh bisnis di wilayah pesisir, mulai dari garam hingga pariwisata diambil pemerintah pusat. Izin berusaha bagi masyarakat lokal dan tradisional hanya terkait kebutuhan hidup sehari-hari, hal itu dikecualikan bagi masyarakat hukum adat

Dosa kelima adalah nafsu pemodal asing. Feri mengungkapkan bahwa pulau-pulau di Indonesia dapat dikelola melalui penanaman modal asing berdasarkan kepentingan pusat. Padahal, asetnya adalah milik daerah. Hal ini tercantum dalam Pasal 26A UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam UU Cipta Kerja.

Dosa keenam adalah kemalasan bertanggungjawab. Feri memandang bahwa UU Cipta Kerja menghapus tanggung jawab perusahaan pembakar hutan. Kebakaran hutan yang menjadi persoalan tiap tahun, kata dia, akan diperparah karena tidak ada lagi sanksi yang dijatuhkan kepada perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran lahan.

Dosa ketujuh adalah marah terhadap rakyat yang punya lahan sendiri. UU Cipta Kerja menghapus syarat ketentuan tentang syarat pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian. Sehingga dengan alasan demi kepentingan umum maupun kebutuhan investasi, lahan pertanian dapat dialihfungsikan dengan mudah.

"Hal ini akan menimbulkan lebih banyak konflik agraria akibat perampasan lahan (Pasal 44 UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam UU Cipta Kerja)," ucap Feri.

Dengan mempertimbangkan 7 dosa tersebut, Feri menuntut agar UU Cipta Kerja ditarik dan dibatalkan dengan membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) sebagai bentuk pertanggungjawaban presiden yang mengusulkan UU tersebut.

Friski Riana

Friski Riana

Reporter Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus