Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) mengatakan sikap publik Indonesia yang kontra terhadap keberadaan komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT mulai menguat sejak 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini lebih karena pejabat publik mengambil kebijakan yang menentang aktivitas komunitas LGBT. Misalnya, Kemenristekdikti di 2016 melarang LGBT ada di kampus. Berikutnya, Kemensos era Khofifah juga membuat kebijakan terapi konversi untuk menyembuhkan LGBT karena dianggap sebagai penyakit,” kata Manajer Program SEJUK, Tantowi Anwari kepada Tempo, Rabu 11 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, TNI dan Polri belakangan aktif menolak LGBT di kesatuan mereka. Selain itu, beberapa pemimpin daerah tidak hanya membuat pernyataan anti-LGBT bahkan memproduksi aturan diskriminatif.
“Terakhir Perda P4S Bogor. Itu alasan pertama yang membuat publik mendapat pembenaran untuk menentang keberadaan komunitas ragam gender dan seksualitas,” ucapnya.
Ia menyebutkan agama menjadi alasan utama publik Indonesia membenci LGBT. “Karena alasan itu juga, LGBT, menurut riset-riset yang dibuat rutin Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menjadi salah satu kelompok yang paling dibenci publik Indonesia,” kata Tantowi.
Dia mengatakan ketika ada peristiwa yang berkaitan dengan komunitas LGBT atau tokoh publik yang punya pengaruh, termasuk influencer membincangkannya, publik akan cepat bereaksi.
“Di sisi lain, ada kecenderungan yang cukup positif, di mana diskursus tentang gender dan seksualitas yang beragam, dalam hal ini LGBT, semakin sering didiskusikan secara terbuka,” kata dia menanggapi pro kontra publik atas podcast Deddy Corbuzier yang mengangkat tema pasangan LGBT.
Dia mengatakan jika ruang publik di Indonesia diisi dengan edukasi tentang gagasan keberagaman gender dan seksualitas, dengan menjadikan riset dan ilmu pengetahuan sebagai basis diskursus, dia optimis trend di dunia akan mulai menerima, menghormati bahkan bersolidaritas terhadap LGBT.
“Pelan-pelan menjadi kesadaran publik di Indonesia, misalnya dari sisi medis dan psikologis (PPDGJ III di Indonesia, American Mediacal Association, American Psychiatric Association, dll), neurologi, WHO, dan seterusnya,” ucapnya.
Tantowi mengatakan pihaknya secara perlahan meyakini, penerimaan terhadap fakta gender dan seksualitas yang beragam akan menjadi kesadaran dan sikap publik Indonesia, setidaknya LGBT sebagai sesama manusia.
“Ini bisa terjadi kalau media dan perbincangan publik yang mengangkat isu keberagaman gender dan seksualitas didasarkan pada rujukan atau diskursus yang lebih didasarkan pada ilmu pengetahuan dan tafsir-tafsir keagamaan yang progfresif,” ucapnya.
MUTIA YUANTISYA