Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Top Nasional: Demokrasi di Era Jokowi Dinilai Makin Turun dan Asal-usul Kemenag

Dosen University of Sydney, Thomas Power, menemukan bahwa demokrasi semakin turun di era pemerintahan Presiden Jokowi.

25 Oktober 2021 | 07.05 WIB

Presiden Joko Widodo meninjau vaksinasi COVID-19 di Kota Banjarmasin, Kamis 21 Oktober 2021. (ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)
Perbesar
Presiden Joko Widodo meninjau vaksinasi COVID-19 di Kota Banjarmasin, Kamis 21 Oktober 2021. (ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Berita yang paling banyak menjadi perhatian pembaca hingga pagi ini, di antaranya Dosen University of Sydney, Thomas Power, menemukan bahwa demokrasi semakin turun di era pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Hal tersebut berdasarkan indikator: pemilu dan oposisi resmi, lembaga penegakan hukum dan lembaga yudisial yang independen, media yang bebas dan berkualitas, serta oposisi tidak resmi dan ada kesempatan untuk berunjuk rasa. Kemudian, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengungkap versi lain tentang asal-usul pembentukan Kementerian Agama pada awal kemerdekaan Republik Indonesia. Berikut ringkasannya:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100


1. Dosen University of Sydney Sebut Demokrasi Semakin Turun di Era Jokowi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dosen University of Sydney, Thomas Power, menemukan bahwa demokrasi semakin turun di era pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Thomas memaparkan ada empat hal yang menjadi indikator penilaian sebuah negara demokratis. Yakni pemilu dan oposisi resmi, lembaga penegakan hukum dan lembaga yudisial yang independen, media yang bebas dan berkualitas, serta oposisi tidak resmi dan ada kesempatan untuk berunjuk rasa.

"Kalau kita lihat di masa Jokowi, terjadi pelemahan yang cukup pelan tetapi terus terjadi di sekitar indikator," ujar Thomas melalui diskusi daring pada Ahad, 24 Oktober 2021.

Thomas menjelaskan, pada indikator pemilu dan oposisi resmi, Indonesia kini nyaris tidak memiliki partai yang mewakili rakyat. Partai dikuasai oleh kepentingan elit sehingga sistem kepartaian menjadi tidak representatif.

Menurut Thomas, hampir semua partai politik lebih mengutamakan jatah kabinet daripada menjaga sikap politik yang sesuai dengan keinginan konstituennya. "Syarat pencalonan presiden semakin sempit dan eksklusif, sehingga hanya dua pasangan calon yang mampu berpartisipasi pada pemilu 2014 dan 2019," kata dia.

Selain itu, dua pasangan calon yang bertarung pada 2019, yakni Jokowi vs Prabowo Subianto, cenderung antidemokratik.

Lalu pada indikator penegakan hukum dan lembaga yudisial, kata Thomas, politisasi aparat penegak hukum semakin terlihat dalam lima tahun terakhir terutama di kepolisian dan kejaksaan. "Perlindungan dari perkara hukum menjadi salah satu bentuk patronase yang paling sering efektif bagi pihak penguasa." ucap dia.

Yang terbaru adanya serangan fisik dan kriminalisasi, narasi taliban, revisi UU KPK, hingga polemik tes wawasan kebangsaan (TWK). Menurut Thomas, hal itu menjadi upaya-upaya untuk menghapus independensi lembaga hukum dan lembaga yudisial.

Indikator ketiga yakni meida yang bebas dan berkualitas juga mengalami penurunan. Thomas menemukan, media di Indonesai saat ini, kepemilikannya semakin didominasi oleh pihak yang terlibat aktif di pemerintahan. Di sisi lain, media yang mengkritisi pemerintah terancam dilaporkan, atau bahkan dipolisikan.

Selanjutnya, indikator terakhir yaitu oposisi tidak resmi dan aksi unjuk rasa, Thomas melihat menjelang pemilu 2019 lalu, pemerintah mulai membatasi dan membubarkan kegiatan kelompok opisisi.

"Contoh adalah ketika munculnya kelompok #2019GantiPresiden," kata Thomas. Ia meilai, tindakan tersebut disebut sebagai upaya melawan radikalisme.

Namun, aksi penolakan dan pembubaran paksa terhadap kelompok oposisi sebelum pemilu 2019, di mana sikap itu menjadi modal untuk medeletigimasi aksi protes paskapemilu. Sebut saja seperti aksi protes RUU KPK, KUHP, dan Omnibus Law.

Pun dalam proses aksi unjuk rasa itu, kebebasan berekspresi semakin terancam. Sebab, demonstrasi dibubarkan secara paksa dan para demonstran menghadapi kekerasan aparat.

"Kita bisa lihat bahwa terjadi penuruan di semua indikator. Maka kami berkesimpulan dengan upaya melemahkan demokrasi dari atas, Indonesia sedang mengalami krisis atas kualitas demokrasi," kata Thomas.

Adapun Juru Bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman, menolak jika demokrasi di Indonesia dikatakan memburuk di era pemerintahan saat ini.

"Saya ingin mengatakan demokrasi di Indonesia sedang baik-baik saja," ujar Fadjroel melalui diskusi daring pada Ahad, 24 Oktober 2021.

Fadjroel menjelaskan bahwa ruang di dalam demokrasi tetap dibuka, sehingga masyarakat hingga kini masih bisa menyampaikan masukan dan kritik kepada pemerintah, di mana kritik dan masukan itu menjadi evaluasi oleh pemerintah.

2. Yaqut: Kementerian Agama Hadiah Negara untuk NU, Bukan untuk Umat Islam

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengungkap versi lain tentang asal-usul pembentukan Kementerian Agama pada awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Menurut Yaqut, selama ini ada perdebatan, terutama di kalangan internal Kementerian Agama, bahwa Kemenag dibentuk untuk kepentingan Umat Islam. Yaqut membantah pendapat tersebut.

Menurut Yaqut, Kementerian Agama ini justru hadiah negara untuk jamiyah Nahdlatul Ulama atau NU dan bukan untuk umat Islam secara umum. Apa argumentasi Yaqut?

Pernyataan ini bermula, saat dirinya hendak mengganti tagline atau motto Kementerian Agama, yakni ikhlas beramal. Lalu salah seorang stafnya, menurut Yaqut, tidak setuju dengan ide perubahan tagline itu. Alasannya? Karena Kemenag merupakan hadiah negara untuk umat Islam.

Yaqut tidak setuju dengan pendapat tersebut, sebab menurutnya Kementerian Agama adalah hadiah dari negara untuk jemaah NU.

“Saya bantah, bukan itu, kementerian agama itu hadiah negara untuk NU, bukan untuk umat Islam secara umum, tapi spesifik untuk NU,” katanya.

Hal itu diungkap Yauqt saat membuka Webinar Internasional Santri Membangun Negeri yang digelar Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan PBNU dalam rangka memperingati Hari Santri, yang disiarkan secara langsung di Kanal YouTube TVNU Televisi Nadhlatul Ulama pada 20 Oktober 2021

Yaqut melanjutkan, lahirnya Kementerian Agama berkat keterlibatan NU dalam mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

“Kementerian Agama itu muncul karena pencoretan tujuh kata dalam piagam Jakarta. Yang mengusulkan itu menjadi juru damai dari Nadhlatul Ulama kemudian lahir kementerian agama,” kata Yaqut.

Yaqut dalam pemaparannya mengungkapkan akan memaksimalkan Kementerian Agama untuk memberdayakan seluas-luasnya pesantren dan santri, salah satunya dengan membentuk Direktorat Jenderal Pesantren.

Menurut Yaqut, pesantren yang merupakan bagian dari NU, wajar jika dibuatkan Dirjen Pesantren. “Kesempatan ini sekali lagi mari kita manfaatkan untuk kebaikan jamiah dan jamaah dengan begitu kita mampu mempersiapkan masa depan anak-anak kita, santri-santri kita untuk memenangkan pertarungan di masa depan,” kata Yaqut.

Baca: Hasto PDIP Puji Jokowi Tangani Covid-19, Sindir Pemerintahan 1 Dekade Sebelumnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus